SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Daerah Pontianak Yayasan Kolase dan FINCAPES Perkenalkan Photo Voice, Suara Warga Pontianak Soal Banjir

Yayasan Kolase dan FINCAPES Perkenalkan Photo Voice, Suara Warga Pontianak Soal Banjir

Ketua Yayasan Kolase, Andi Fachrizal saat memberikan kata sambutan dalam kegiatan sosialisasi Photo Voice di Rumah Budaya Kampung Caping, Pontianak, pada Selasa (11/11/2025). [SUARAKALBAR.CO.ID/Maria]

Pontianak (Suara Kalbar) – Yayasan Kolase bekerja sama dengan Flood Impacts, Carbon Pricing, and Ecosystem Sustainability (FINCAPES) Project memperkenalkan kegiatan Photo Voice sebagai sarana partisipatif untuk mendengar suara warga tentang risiko banjir di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar).

Kegiatan bertajuk “Mata Warga Memaknai Risiko Banjir Pontianak” yang dihadiri sekitar 50 peserta dari berbagai instansi, perwakilan kelurahan, lembaga, serta tim Yayasan Kolase ini digelar di Rumah Budaya Kampung Caping, Pontianak, pada Selasa (11/11/2025).

Ketua Yayasan Kolase, Andi Fachrizal, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Kanada dalam upaya menekan laju perubahan iklim melalui FINCAPES.

“Fincapes ini di negara Kanada, dan mereka memuncurkan anggaran untuk University of Waterloo guna membangun skenario global. Di Indonesia, salah satu universitas yang bekerja sama adalah Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, yang telah melakukan penelitian di Pontianak. Penelitian itu juga atas restu Pemerintah Kota Pontianak dengan leading sector di Bapperida,” jelas Rizal.

Menurutnya, hasil penelitian sepanjang 2024 menunjukkan bahwa Pontianak memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap banjir.

“Terlihat bahwa Pontianak dari sisi demografi ternyata sangat rapuh dengan banjir,” ujarnya.

Rizal menjelaskan, posisi geografis Pontianak yang berada di delta dengan ketinggian rata-rata hanya 0,4 hingga 1,5 meter di atas permukaan laut membuat kota ini sangat dipengaruhi oleh pasang laut. Selain itu, sistem drainase yang belum berfungsi maksimal serta perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan memperparah kondisi tersebut.

“Dari hasil skenario penelitian Universitas Syiah Kuala, di seluruh 29 kelurahan di enam kecamatan sebenarnya berpotensi terdampak banjir. Namun yang paling rentan itu ada 21 kelurahan,” ujarnya lagi.

Ia menambahkan, masih banyak warga yang memandang banjir sebagai hal biasa yang datang setiap tahun, padahal tren ketinggian air terus meningkat.

“Sebagian besar warga masih menganggap banjir sebagai hal biasa. Namun di sisi lain, ada warga yang menganggapnya sudah menjadi ancaman serius. Nah, di sinilah kita ingin melihat seperti apa suara warga sebenarnya tentang banjir,” katanya.

Foto bersama sejumlah peserta yang hadir dalam kegiatan sosialisasi Photo Voice di Rumah Budaya Kampung Caping, Pontianak, pada Selasa (11/11/2025). [SUARAKALBAR.CO.ID/Maria]
Melalui pendekatan Photo Voice, Yayasan Kolase ingin mengajak masyarakat untuk mendokumentasikan pengalaman mereka tentang banjir secara visual.

“Photo Voice ini adalah studi komunikasi partisipatif melalui pendekatan visual. Kita akan mengajak warga untuk memotret situasi banjir dan lingkungannya,” terang Rizal.

Program ini rencananya akan berlangsung selama tiga bulan, dari November 2025 hingga Januari 2026, dengan melibatkan 30 warga Pontianak dari berbagai latar belakang sosial, usia, dan gender, termasuk kelompok rentan yang terdampak banjir.

Rizal juga menyoroti ancaman jangka panjang terhadap Pontianak akibat kombinasi antara pasang laut, curah hujan tinggi, penurunan muka tanah, dan padatnya permukiman.

“Data global menyebut bahwa permukaan air laut terus naik seiring mencairnya lapisan es di Kutub Utara. Di Pontianak Utara dan Tenggara, muka tanah turun lebih dari satu sentimeter tiap tahun. Kalau tidak ada intervensi kebijakan, pada 2050 ketinggian banjir bisa mencapai 1,5 meter. Artinya, Pontianak bisa ‘tenggelam’,” jelasnya.

Ia mengapresiasi langkah Pemerintah Kota Pontianak yang mulai memperbaiki drainase dan menata parit di sejumlah wilayah, seperti di Jalan Sepakat Dua dan Kampung Yuka, sebagai bentuk komitmen menghadapi ancaman iklim.

Rizal juga mengingatkan pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Pontianak.

“Sungai Kapuas tidak membelah kota, tapi menyatukan Pontianak. Karena sungainya duluan ada, baru kotanya. Ini yang harus kita jaga sebagai bagian dari peradaban sungai,” pungkasnya.

Sementara itu, Manajer Proyek Photo Voice, Arief Nugroho, menjelaskan bahwa Photo Voice merupakan metode kajian berbasis fotografi komunitas yang menggabungkan dokumentasi visual dan pemberdayaan sosial.

“Photovoice merupakan metode berbasis fotografi komunitas yang tidak hanya berfungsi sebagai pendokumentasian isu sosial seperti banjir, tetapi juga sebagai sarana pemberdayaan individu untuk menjadi agen perubahan, memperluas jaringan, serta menjembatani komunikasi antara masyarakat dan pemerintah,” jelas Arief.

Ia menambahkan, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kapasitas, dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan serta adaptasi terhadap banjir.

“Kami ingin mengubah persepsi publik terhadap banjir sebagai ancaman perubahan iklim, sekaligus mengungkap perspektif kelompok rentan seperti perempuan, lansia, pekerja informal, pemuda, dan penyandang disabilitas,” ujarnya.

Melalui Photo Voice, Yayasan Kolase dan FINCAPES berharap suara warga yang terekam dalam foto dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan serta memperkuat strategi ketahanan banjir di Kota Pontianak.

Penulis: Maria

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan