SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda News Kopi Sarongge dan Petani di Masa Pandemi

Kopi Sarongge dan Petani di Masa Pandemi

Petani kopi Sarongge (ist)

Suara Kalbar– Merebaknya virus corona telah melumpuhkan seluruh aktivitas
masyarakat dunia. Namun, hal itu tak pernah berlaku bagi para petani kopi Sarongge.

Bulan Mei dan Juni merupakan masa panen raya kopi Sarongge, kopi asal Cianjur,
Jawa Barat yang terkenal dengan cita rasa uniknya. Tak kenal
#dirumahaja, mereka tetap harus ke kebun demi mendapatkan kopi
berkualitas baik yang telah ditanam selama tiga tahun lamanya.

Tosca Santoso,
sang inisiator kopi Sarongge, meminta agar pemerintah kelak bisa lebih
memperhatikan nasib para petani. Tak hanya tenaga medis yang telah
berjasa, petani juga menjadi pahlawan di tengah pandemi corona.

Tanpa petani, pasokan bahan pokok akan tersendat. Karenanya juga bisa menimbulkan krisis multidimensi.

Jurnalis senior sekaligus salah satu
pendiri Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) itu berharap pemerintah bisa
terus menggalakan perhutanan sosial, asal lahirnya kopi Sarongge.
Disanalah para petani bisa menyuplai pasokan bahan dengan maksimal.

Berikut kisah para petani Sarongge dan nasib petani lainnya di tengah pandemi yang ditulis langsung oleh Tosca Santoso.

Petani di Masa Pandemi

Pagebluk datang tanpa permisi. Virus
itu, tiba-tiba melumpuhkan banyak segi kehidupan kita. Sejak Presiden
Jokowi mengumumkan kasus Covid-19 pertama, awal Maret, berbagai aturan
dibuat membatasi gerak. Orang-orang terkurung di rumah. Perkantoran
tutup. Ekonomi melambat drastis.

Sedikit dari profesi yang diminta
Presiden untuk tetap bekerja di masa pandemi ini adalah petani. 

Presiden
mengingatkan agar petani memanfaatkan sisa hujan bulan April, untuk
tetap menanam tanaman pangan. Ia khawatir akan ada kekeringan panjang di
akhir tahun, yang dapat menyebabkan kurangnya pasok pangan.

Ancaman kurang pangan jadi momok buat
siapa sajayang sedang mengatur negeri.  Kalau terjadi, ia dapat
timbulkan krisis multidimensi.

Tapi sesungguhnya, tanpa diminta
siapa pun, petani tetap bekerja di masa pandemi ini. Terlebih pekerja
tani, yang hidup dari upah harian. Libur adalah malapetaka buat mereka.
Juga untuk petani gurem yang tanahnya kurang dari 0,2 ha. Mereka tetap
bekerja di kebun. Anjuran untuk diam di rumah, atau bekerja dari rumah,
terdengar ganjil di telinga petani.

Kopi Sarongge yang telah dikemas (dok. Tosca Santoso)
Kopi Sarongge yang telah dikemas (dok. Tosca Santoso)

Para
petani kopi di Sarongge, memasuki masa panen raya Mei- Juni ini. Mereka
antusias ke kebun, memetik kopi yang sudah lama ditunggu. Tak bisa
ditunda. Karena telat memanen, berarti akan terlalu matang. Dan kurang
bagus untuk diolah basah (fullwash) yang jadi pilihan utama dalam paska
panen kopi di Sarongge. Mau tak mau, panen harus dilakukan, meski
Cianjur masuk pada tahap PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar 6-19
Mei. Petani terbiasa bekerja dengan ritme, yang disesuaikannya dengan
alam.

Maka anjuran supaya gunakan sisa
hujan untuk tanam tanaman pangan, bisa jadi bumerang. Kebanyakan petani
akan pikir seribu kali untuk mulai tanam, ketika hujan tinggal sedikit.
Pilihan tanaman harus yang tahan kering, sanggup hidup meski kurang air.
Padi bukan pilihan. Bahkan di tempat dengan irigasi baik, mereka akan
hitung, apakah air masih akan ada saat dibutuhkan? Apalagi di tempat
huma tadah hujan. Tidak ada petani yang menanam padi di ujung penghujan.
Titi mangsa mengajarkan mereka : tanam padi di awal musim hujan.

Singkong mungkin masih cocok untuk
penghujung masa hujan. Ia hanya butuh air sedikit di awal tanam. Lalu
akan bertahan, meski sisa waktunya kering. Tetapi menganjurkan tanam
singkong di lahan petani yang begitu sempit, akan kurang didengar. Nilai
ekonominya terlalu murah. Waktu panennya lama. Singkong cocok untuk,
tanaman pagar, menambah ketahanan pangan keluarga tani sendiri.

Yang paling fatal dari antisipasi
kurang pangan ini adalah rencana buka sawah baru. Menko perekonomian
mengatakan sawah baru akan dicetak di Kalimantan Timur, daerah gambut.
Ini sungguh tak belajar dari kesalahan masa lalu. Rezim Soeharto pernah
mencoba proyek sawah sejuta hektar di Kalimantan Tengah dan gagal total.
Gambut bukan lahan yang cocok untuk sawah. Apalagi, sekarang begitu
banyak informasi tentang pentingnya merawat gambut untuk iklim global
kita. Membuka lahan gambut untuk sawah, bukan rencana yang sejalan
dengan moralitas zaman baru yang peduli lingkungan.

Biji kopi hasil para petani Sarongge (ist)
Biji kopi hasil para petani Sarongge (dok. Tosca Santoso)

Dan
sawah super luas di tempat terpencil itu, punya kelemahan praktis :
tidak ada petani yang kerja di sana. Cerita gagalnya sawah sejuta hektar
di Kalteng, danfood estate di Merauke, membuktikan hal itu. Sawah
adalah kerja manusia. Letaknya harus dekat dengan tempat tinggal mereka.
Tak ada sawah tanpa manusia.

Memperbaiki sawah yang rusak di Jawa,
Bali dan Sumatera, adalah langkah efektif untuk naikkan lagi produksi
beras. Memperluas perhutanan sosial di Jawa dan Sumatera, dapat
signifikan menambah produksi pangan. Tak hanya beras. Tetapi juga
singkong, jagung, ubi, sorgum. Sagu dapat digalakkan di hutan-hutan
adat, oleh masyarakat Indonesia Timur.

Sesungguhnya, daripada berpikir
tentang food estate yang mengandalkan pemodal besar — yang besar juga
daya rusaknya pada hutan — Pemerintahan Jokowi lebih baik melanjutkan
gagasan perhutanan sosial. Ini akan melibatkan belasan juta keluarga
tani. Ekonomi mereka bergerak, dan pasok pangan lebih terjamin.
Percayakan kepastian pangan kita pada orang banyak. Jutaan petanilebih
baik, ketimbang lima-enam investor kakap yang mementingkan ambil kayu
hutan ketimbangmemastikan pasok pangan.

Di Jawa, tantangan terbesar perluasan
perhutanan sosial adalah keengganan Perhutani. Meski sekarang, BUMNyang
dipercaya mengelola 2,5 juta ha hutan di Jawa itu,telah menunjuk
direktur khusus di bidang perhutanan sosial, pandangannya tentang hutan
dan petani, belum banyak berubah. Hutan milik mereka. Petani hanya
numpang. PHBM, pengelolaan hutan bersama masyarakat, sudah lama punya
konotasi demikian. Hubungan yang timpang antara pemilik dan petani yang
menumpang pakai lahan.

Perkebunan kopi Sarongge (dok. Tosca Santoso)
Perkebunan kopi Sarongge (dok. Tosca Santoso)

Sedangkan
dalam perhutanan sosial, hubungan dibuat setara. Perhutani dan petani
adalah partner. Karenanya hak dan kewajiban ditulis terang. Izin tertera
35 tahun. Hubungannya bukan lagi patron-klien. Perlu kerelaan Perhutani
melepas previlegenya sebagai patron. Hubungan baru itu, sesungguhnya
dapat lebih produktif untuk keduanya. Petani lebih tenang berproduksi,
karena jaminan legal jangka panjang. Perhutani dapat berlaku sebagai
offtaker atas produk-produk mereka.

Pandemi ini memberi bukti. Petani
adalah golongan yang mengambil risiko dengan tetap bekerja, ketika
banyak orang memilih diam di rumah. Presiden bahkan tanpa sungkan
meminta petani tetap menanam, mengantisipasi kekurangan pangan setelah
kemarau nanti. Jadi sewajarnya, para petani itu didukung. Beri kepastian
lahan yang masif lewat perhutanan sosial. Dukung sarana kerja dengan
skema kredit yang ramah petani. Dan tak kurang pentingnya, dukungan
denganmembuka pasar.

Di Sarongge, saya belajar
banyak. Bukan hanya tentang reforestasi dan kopi. Tetapi juga hidup
petani, yang pada umumnya di sana berarti bertani sayur. “Bertani itu
4-1. Empat kali rugi, sekali untung,” kata tetangga saya. Harga begitu
fluktuatif. Pasar tanpa kompromi. Peluang mendapat harga bagus
itu hanya sekali dari lima kali panen. Toh mereka terus menanam. Tanpa
bantalan harga yang bisa diharapkan.

Jadi sekali ini, ketika pandemi
mereda, tak berlebihan kalau pemerintah memberi penghargaan pada petani.
Dalam wujud kebijakan yang mendukung petani kita.

Sumber : Suara.com

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan