Membangun Sekolah Bebas Perundungan di Indonesia
Jakarta (Suara Kalbar) – Sekolah seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak, tempat tumbuhnya semangat belajar dan karakter yang kuat.
Namun, di balik dinding yang tampak tenang, sering tersembunyi luka yang tak terlihat, ketika ada ejekan yang menyesakkan, pengucilan yang perlahan mematikan semangat, atau kekerasan yang dikemas dalam bentuk candaan.
Bullying di sekolah bukan sekadar perilaku nakal, melainkan ancaman terhadap masa depan anak-anak bangsa.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa hingga awal 2024 terdapat 46 kasus bunuh diri pada anak, hampir separuhnya terjadi di lingkungan pendidikan.
Tahun 2025 pun belum membawa perubahan signifikan; beberapa kasus bunuh diri usia anak masih diduga kuat berkaitan dengan perundungan. Angka-angka ini seharusnya menjadi alarm nasional bahwa dunia pendidikan Indonesia sedang menghadapi krisis empati.
Salah satu upaya serius yang telah dilakukan pemerintah adalah peluncuran program ROOTS Indonesia oleh UNICEF bersama Kemendikbudristek pada 2021.
ROOTS (akronim dari Respect, Observance, Outreach, Togetherness, and Support) dirancang untuk membangun budaya sekolah yang menghargai, inklusif, dan bebas kekerasan.
Dalam praktiknya, ROOTS melatih guru dan memilih siswa yang berpengaruh di kalangan teman sebaya sebagai agen perubahan. Mereka tidak hanya diajarkan untuk menolak perilaku bullying, tetapi juga menularkan nilai empati dan saling menghormati kepada seluruh warga sekolah.
Momentum utamanya adalah Roots Day, saat seluruh sekolah mendeklarasikan komitmen untuk menolak perundungan.
Hingga 2024, program ini telah menjangkau lebih dari 33.777 satuan pendidikan di seluruh Indonesia. Sebuah capaian luar biasa di atas kertas, tapi belum tentu berakar kuat di setiap sekolah.
Budaya Positif
Masalahnya, perubahan perilaku sosial bukan sesuatu yang dapat tumbuh instan. Akar tidak akan kuat tanpa air kesadaran dan pupuk konsistensi.
Program seperti ROOTS membutuhkan dukungan dan waktu yang panjang untuk membentuk budaya positif yang melekat dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Tantangan terbesar justru terletak pada implementasi, kesiapan sumber daya sekolah, kualitas guru fasilitator, koordinasi antar pihak, dan kemampuan menjaga keberlanjutan.
Dalam beberapa kasus, program berjalan hanya sebagai formalitas atau sekadar kegiatan seremonial tanpa dampak yang mengubah perilaku.
Padahal, lingkungan sosial anak adalah ekosistem yang kompleks, hal ini tidak akan sehat hanya dengan aturan dan pelatihan, tetapi memerlukan penguatan moral, afeksi, dan sistem pendukung yang hidup.
Dari refleksi itulah muncul gagasan pelengkap bernama “Kick The Bully” (KTB), sebuah konsep yang tidak bermaksud menggantikan ROOTS, melainkan memperkuat dan mempercepat dampaknya.
KTB berangkat dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki sisi baik yang dapat tumbuh jika diberi ruang, dan sisi buruk yang bisa ditekan dengan kesadaran moral dan sosial.
Slogan utamanya “tendang perilakunya, rangkul pelakunya” mengandung filosofi cinta yang tegas: memerangi tindakan buruk tanpa menghapus harapan pada pelakunya.
Pendekatan KTB lebih menyeluruh karena menggabungkan dimensi kognitif, emosional, dan spiritual. Ia mengguncang kesadaran, bukan hanya mengubah perilaku, dengan menggugah sisi hati dan naluri manusia.
Langkah-langkah konkret dalam KTB menampilkan strategi perubahan sosial yang lebih dinamis. Sekolah didorong untuk memproklamasikan gerakan anti-perundungan secara terbuka, melibatkan seluruh warga sekolah dan orang tua, bahkan dengan simbol-simbol moral yang kuat seperti pakta integritas atau tayangan konsekuensi hukum bagi pelaku bullying.
Pendekatan ini memanfaatkan psikologi dasar manusia termasuk di dalamnya otak reptil yang bereaksi terhadap ancaman untuk menekan niat berbuat jahat.
Tekanan Moral
Selain itu, KTB memperkenalkan label sosial negatif bagi perilaku bullying seperti pengecut, sombong, atau tidak beradab, agar muncul tekanan moral yang menumbuhkan kesadaran diri.
Namun, pendekatan ini bukan untuk mempermalukan, melainkan menumbuhkan kontrol sosial yang sehat, membuat siswa berpikir dua kali sebelum melukai orang lain.
Program ini juga menekankan penguatan nilai diri dan harga diri siswa, karena banyak pelaku maupun korban bullying memiliki persoalan serupa: kehilangan rasa berharga.
Sesi motivasi, video inspiratif, dan ruang dialog terbuka dibangun agar siswa memahami makna empati dan keberanian moral. Di sisi teknis, sekolah didorong membangun sistem pelaporan yang aman dan efektif, baik manual maupun digital, dengan jaminan kerahasiaan.
Kasus perundungan pun ditangani secara edukatif melalui pendampingan dan konseling, bukan hanya hukuman. Pendekatan ini menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah proses memanusiakan manusia termasuk mereka yang pernah tersesat dalam perilaku negatif.
Inti kekuatan KTB terletak pada konsistensinya membangun aksi berkelanjutan. Ini mendorong sekolah mengintegrasikan nilai-nilai ROOTS ke dalam program tematik seperti “Generasi Aktif Unggul Luhur” atau “Ayo Berubah Terus Bertumbuh.” Setiap ruang belajar dapat menjadi “zona cinta kasih,” tempat aman yang menghidupkan semangat positif.
Evaluasi berkala dan observasi perilaku siswa menjadi bagian penting agar perubahan tidak berhenti pada slogan. Dengan sinergi yang kuat, ROOTS dan KTB dapat saling melengkapi, yang satu menanam akar kesadaran, yang lain memberi air dan cahaya bagi tumbuhnya karakter yang sehat.
Pada akhirnya, pemberantasan bullying bukan sekadar urusan anak-anak di sekolah, tetapi refleksi dari watak masyarakat. Setiap ejekan yang dibiarkan adalah tanda lemahnya akhlak sosial; setiap tawa atas penderitaan orang lain adalah potret retaknya empati kolektif.
Albert Einstein pernah berkata, “Kita tidak dapat memecahkan masalah dengan cara berpikir yang sama ketika kita menciptakannya.” Artinya, jika selama ini pendekatan anti-bullying hanya bersandar pada kampanye moral dan hukuman, sudah saatnya beralih pada strategi yang lebih menyentuh kesadaran manusiawi menggugah hati, menumbuhkan rasa, dan menguatkan karakter.
Sekolah bebas bullying bukan utopia. Namun bisa terwujud jika setiap guru menjadi teladan empati, setiap siswa menjadi agen kebaikan, dan setiap orang tua hadir sebagai benteng kasih.
Sinergi ROOTS dan Kick The Bully memberikan arah baru dalam pendidikan karakter Indonesia, bukan sekadar menolak kekerasan, tetapi membangun generasi yang berani menegakkan kebaikan.
Mencegah bullying bukan hanya soal disiplin, tetapi panggilan moral untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia tumbuh dalam ruang yang aman, dihormati, dan dicintai.
Dari situlah akan lahir generasi emas yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara nurani, sehingga mampu menggerakkan bangsa menuju masa depan yang lebih beradab, sejahtera, dan bermartabat.
*) Penulis adalah Praktisi Pendidikan, Trainer/Educator di Yamjaya, dan Pengembang Metode Edukasi Praktis berbasis Psikologi pada Rumah Belajar Bersama (Rbebe).
Sumber: ANTARA
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





