Masyarakat Sajingan Besar Desak Pemerintah Tuntaskan Masalah Status Kawasan Hutan
Sambas (Suara Kalbar) – Ketua Tim Pembebasan Kawasan (TPK) Hutan Kecamatan Sajingan Besar, Bertul Talo, menyampaikan apresiasi atas diterimanya audiensi antara perwakilan masyarakat dengan Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Sambas.
Dalam pertemuan tersebut, masyarakat menyampaikan berbagai aspirasi terkait keresahan akibat penetapan status kawasan hutan yang menghambat aktivitas mereka sehari-hari, Rabu (29/10/2025).
“Puji Tuhan, kami sangat mengapresiasi proses penerimaan dalam audiensi hari ini. Aspirasi kami disambut dengan sangat antusias dan penuh perhatian terhadap kondisi nyata yang terjadi di lapangan,” ujar Bertul Talo.
Ia menjelaskan bahwa sejak tahun 2024, di Kecamatan Sajingan Besar muncul berbagai permasalahan terkait kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi TWA yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat.
Menurutnya, keresahan masyarakat semakin meningkat sejak adanya pemasangan plang bertuliskan Penitipan Kawasan Hutan (PKH) di area pemukiman. Warga tidak bisa beraktivitas seperti biasa, bahkan dilarang mengelola lahan sendiri. Lebih lanjut, Ia menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan masyarakat adat diperbolehkan mengelola hutan selama tidak untuk kepentingan komersial.
“Itulah yang menjadi keresahan kami ketika Satgas PKH menancapkan spanduk bertuliskan ‘Dilarang Mengelola Hutan Ini’. Hari ini kami datang untuk meminta pemerintah daerah dan DPRD segera menindaklanjuti persoalan ini. Keputusan itu memberi kepastian hukum bagi kami untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan,” katanya.
Ia menambahkan, TPK bersama masyarakat akan terus berkoordinasi dan menindaklanjuti hasil audiensi dengan Pemda dan DPRD. Meski demikian, Ia menegaskan bahwa jika tidak ada tindak lanjut, pihaknya akan melanjutkan perjuangan ke tingkat provinsi hingga pusat.
Sementara itu, di lapangan ditemukan fakta bahwa pemasangan plang kawasan hutan dilakukan secara sepihak tanpa pemberitahuan kepada masyarakat maupun kepala desa. Bahkan, sebagian dilakukan pada malam atau dini hari. Akibatnya, warga tidak bisa mengurus dokumen tanah seperti SKM atau SPT.
“Kami siap membawa persoalan ini ke Dinas Kehutanan Provinsi, BPKH, Gubernur, bahkan sampai ke Kementerian Kehutanan dan Presiden jika perlu. Tanah itu adalah milik masyarakat. Tapi karena status kawasan, warga tidak bisa membuat SHM,” jelas Bertul.
Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sajingan Besar, Jamel, juga menyampaikan keprihatinan serupa. Ia menegaskan bahwa masyarakat adat sudah tinggal di wilayah tersebut selama ratusan tahun secara turun-temurun.
“Kami bukan masyarakat nomaden. Kami hidup dari berladang, bertani, dan berkebun. Tapi tiba-tiba wilayah kami ditetapkan sebagai kawasan hutan tanpa ada sosialisasi,” ungkapnya.
Ia menilai, sejak terbitnya Perpres Nomor 5 Tahun 2025, keresahan masyarakat semakin meningkat. Ia meminta pemerintah daerah hingga pusat untuk segera mencari solusi yang adil agar tidak menimbulkan konflik sosial.
Ia mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian hutan dengan menanam kembali pohon-pohon bermanfaat seperti jengkol, petai, durian, dan tanaman adat lainnya.
“Kami berharap persoalan ini diselesaikan dengan regulasi yang jelas, tanpa menunggu terlalu lama atau terjebak birokrasi. Kami ingin solusi yang adil bagi semua pihak. Kami tidak menolak pelestarian hutan. Kami hanya ingin hak masyarakat diakui dan dihormati,” tutup Jamel.
Penulis: Serawati
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





