SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Kalimantan dan Investasi Asing: Menimbang Amanah Umat dalam Perspektif Islam

Kalimantan dan Investasi Asing: Menimbang Amanah Umat dalam Perspektif Islam

Alif Fani Pertiwi

Oleh: Alif Fani Pertiwi, S.E.

Gelaran Pamor Borneo 2025 di Banjarmasin menandai ambisi besar Kalimantan untuk tampil di panggung internasional. Lima provinsi di pulau ini menawarkan 15 proyek strategis kepada investor dari 12 negara. Proyek itu meliputi hilirisasi bauksit di Kalimantan Barat, pembangunan PLTA di Kalimantan Selatan, ekowisata di Kalimantan Tengah, industri oleokimia berbasis sawit di Kalimantan Timur, hingga rumah sakit dan pelabuhan di Kalimantan Utara. (antaranews.com, 20/08/2025)

Sekilas, semua ini terdengar menjanjikan. Pemerintah daerah menyoroti besarnya potensi Kalimantan yang melimpah dengan berbagai sumber daya alam, mulai dari pertambangan, energi, hingga hasil laut. Namun jika ditelaah dari perspektif Islam, apakah proyek-proyek strategis ini benar-benar akan menyejahterakan rakyat, atau justru malah menyerahkan amanah umat kepada pihak asing?

Kekayaan Alam adalah Milik Umat

Syekh Taqiyuddin dalam kitabnya Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) menegaskan bahwa sumber daya alam strategis, khususnya tambang besar dan energi, tergolong dalam milik umum (al-milkiyyah al-‘ammah). Dalilnya jelas, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).

Para ulama memahami “api” di sini sebagai simbol energi dan sumber daya vital. Artinya, bauksit, batubara, minyak, gas, dan listrik bukanlah milik pribadi atau korporasi, melainkan milik umat yang harus dikelola negara. Negara berkedudukan sebagai ra’in (pengelola) yang wajib mendistribusikan manfaatnya bagi seluruh rakyat.

Dalam kerangka ini, penyerahan pengelolaan sumber daya kepada investor asing adalah bentuk pelanggaran terhadap kepemilikan umat. Negara seharusnya menjadi pihak yang langsung mengelola, bukan menjadikan rakyat penonton sementara keuntungan besar mengalir ke luar negeri.

Investasi Asing: Jalan Halus Penjajahan

Kolonialisme modern tidak selalu hadir dengan senjata dan penjajahan fisik, namun bisa melalui kontrak investasi, utang luar negeri, dan kerjasama modal. Sekilas, investor asing tampak dermawan: membawa modal, teknologi, bahkan lapangan kerja. Namun dalam praktiknya, mereka mengikat kontrak jangka panjang yang menjadikan negara tuan rumah bergantung. Keuntungan besar tidak tinggal di daerah, melainkan mengalir ke perusahaan multinasional. Rakyat setempat hanya menerima sebagian kecil, bahkan seringkali menanggung dampak buruk berupa kerusakan lingkungan dan hilangnya kedaulatan ekonomi.

Di sinilah letak masalah besar dari tawaran 15 proyek strategis Kalimantan. Hilirisasi bauksit di Ketapang, industri oleokimia berbasis sawit di Kutai Timur, hingga PLTA di Tanah Bumbu —semuanya menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika itu dikelola oleh asing, maka hakikatnya kita menyerahkan kunci dapur rumah kita kepada orang lain.

Islam Menawarkan Solusi Berbeda

Berbeda dengan kapitalisme yang menuhankan modal, Islam memiliki aturan tegas tentang pengelolaan sumber daya:

  1. Sumber daya vital (tambang besar, energi, air) adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki swasta, apalagi asing. Negara wajib mengelola langsung.
  2. Hasil pengelolaan kembali ke rakyat, misalnya dalam bentuk pendidikan gratis, layanan kesehatan, infrastruktur publik, dan subsidi kebutuhan dasar.
  3. Negara boleh bermitra dengan swasta dalam sektor yang sifatnya bukan milik umum, misalnya manufaktur atau usaha kecil-menengah, tetapi tetap dalam kerangka syariah tanpa riba dan tanpa penyerahan kedaulatan.

Dengan prinsip ini, proyek hilirisasi bauksit di Kalbar seharusnya dijalankan oleh negara, bukan asing. Negara bisa membangun smelter dengan dana dari pengelolaan tambang lain, atau melalui model syirkah (kerja sama usaha) dengan rakyat yang tidak merugikan kepemilikan umum. Begitu pula industri sawit atau pengelolaan limbah: negara wajib memastikan pengelolaannya membawa manfaat nyata bagi rakyat, bukan hanya keuntungan investor.

Kemaslahatan vs Kerusakan

Islam mengajarkan bahwa pembangunan bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan ekonomi. Ia harus memenuhi tujuan syariah (maqashid syariah), yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Artinya, investasi hanya boleh berjalan jika benar-benar membawa maslahah (kebaikan) bagi umat, bukan kerusakan.

Proyek rumah sakit di Kaltara, misalnya, sangat potensial untuk memenuhi hifzh an-nafs (menjaga jiwa). Namun, ia harus dijalankan dengan prinsip syariah: layanan kesehatan murah bahkan gratis, bukan komersialisasi. Sementara itu, proyek tambang bauksit dan sawit yang tidak terkelola dengan benar bisa membawa kerusakan ekologis. Allah SWT telah memperingatkan:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56).

Maka, pembangunan sejati harus memastikan kelestarian alam dan keberlanjutan, bukan hanya memanen keuntungan sesaat.

Mengembalikan Amanah kepada Syariat

Selama negara masih berlandaskan sistem kapitalis, proyek strategis hanya akan melanggengkan ketergantungan pada asing. Umat butuh sistem alternatif —yaitu sistem Islam yang kaffah— untuk mengelola kekayaan alam secara adil dan mandiri. Dalam sistem Islam, negara bukanlah broker yang mencari investor, tetapi pengelola amanah Allah yang memastikan kekayaan bumi menjadi jalan kesejahteraan rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Imam adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini seharusnya menjadi pengingat, bahwa setiap kontrak dengan asing bukan hanya soal angka investasi, melainkan juga soal amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.

Penutup

Pamor Borneo 2025 dengan segala proyek strategisnya memang bisa jadi peluang. Namun, jika prinsip Islam diabaikan, ia juga berpotensi menjadi lubang penjajahan baru. Kalimantan yang kaya raya bisa kembali menjadi ladang eksploitasi asing, sementara rakyatnya tetap bergulat dengan kemiskinan.

Jalan keluar bukanlah membuka pintu lebar-lebar untuk investor asing, tetapi mengembalikan tata kelola sesuai syariat Islam: mengelola kekayaan alam sebagai milik umat, negara hadir sebagai pengurus sejati, dan hasilnya kembali untuk rakyat. Dengan cara inilah, Kalimantan —dan Indonesia secara umum— dapat benar-benar meraih kedaulatan ekonomi, mewujudkan kesejahteraan, serta menunaikan amanah besar dari Allah SWT.

*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan