Ketika Anak Jadi Ujian: Tafsir Sabar untuk Para Orang Tua
Oleh: Fakhurrazi Al Kadrie S.HI, MP.d
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
(QS. At-Taghabun: 15)
Anak bukan hanya anugerah, tapi juga amanah yang berat. Dalam bahasa Al-Qur’an, anak disebut sebagai fitnah ujian yang menguji keikhlasan, kesabaran, dan kebijaksanaan orang tua. Tak sedikit orang tua yang menangis karena anaknya, merasa gagal, bahkan patah harapan. Namun dalam Islam, mendidik anak bukan semata urusan duniawi, melainkan bagian dari ibadah yang penuh spiritualitas.
Dalam kitab Tafsir al-Maraghi, disebutkan bahwa makna anak sebagai fitnah bukanlah sesuatu yang buruk. Justru dari ujian itulah seorang mukmin diuji keteguhan dan ketulusannya. Ketika anak membuat orang tua bersedih, membangkang, atau memilih jalan hidup yang tak sesuai harapan, saat itulah orang tua masuk dalam wilayah ibadah sabar yang paling tinggi nilainya.
Syekh Ibn Athaillah al-Sakandari berkata, “Di antara tanda orang yang berharap kepada Allah adalah tetap tenang ketika diuji.” Maka ujian dari anak bukan tanda kebencian Allah, melainkan ladang pembuktian cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.
Nabi Ya’qub pernah kehilangan putra kesayangannya, Yusuf, dan tetap bersabar seraya berkata, “Sabar itu indah (ṣabrun jamīl).” (QS. Yusuf: 18). Nabi Nuh pun diuji oleh anaknya yang menolak naik ke perahu dan akhirnya tenggelam. Namun tak ada satupun dari para nabi yang mencaci anaknya. Mereka tetap mendidik dengan cinta, doa, dan keteguhan hati.
Ibnu Qayyim dalam Tuhfatul Maudud menekankan pentingnya kesabaran dalam mendidik: “Barangsiapa yang menginginkan kebaikan anaknya, maka bersabarlah sebagaimana para nabi bersabar terhadap umat dan keluarga mereka.”
Tak semua anak akan sesuai dengan cita-cita orang tuanya. Tugas orang tua bukan memaksakan hasil, tetapi menanamkan nilai dan membimbing proses. Bahkan ketika anak memilih jalan yang berbeda, sabar tetap menjadi perisai spiritual bagi orang tua.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis: “Anak itu seperti tanah kosong, dan orang tua adalah penanam benihnya. Namun tumbuh atau tidaknya, tetap di tangan Allah.” Maka orang tua tidak boleh terjebak dalam keputusasaan, tapi terus bersandar pada doa dan ketekunan.
Ketika anak sulit diatur, bukan berarti mereka durhaka. Bisa jadi mereka sedang mencari jati diri, sedang menantang batas, atau bahkan tengah berteriak minta didengar. Orang tua yang bijak tidak reaktif, tetapi reflektif. Ia bertanya dalam diam: “Apa yang sedang Allah ajarkan lewat anakku hari ini?”
Penting bagi orang tua muslim untuk mengubah paradigma: dari “mengontrol anak” menjadi “menumbuhkan anak”, dari “memiliki anak” menjadi “mendampingi makhluk Allah”.
Doa adalah bahasa paling jujur dari orang tua kepada Tuhannya. Bahkan ketika mulut tak sanggup bicara, air mata bisa menjadi doa paling fasih. Dalam QS. Al-Furqan: 74, Allah memuji mereka yang berdoa:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (qurrata a’yun), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Jadikan setiap kesulitan dalam mengasuh anak sebagai jalan menuju kedekatan dengan Allah. Karena sejatinya, ketika anak menjadi ujian, Allah sedang membuka pintu surga melalui sabar dan tawakal orang tuanya.
*Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kota Pontianak
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





