SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Diiming Gaji Tinggi Berujung Tragedi: Bedah Akar Eksploitasi

Diiming Gaji Tinggi Berujung Tragedi: Bedah Akar Eksploitasi

(Ilustrasi: ANTARA FOTO | Teguh Prihatna)

Oleh: Agustin Pratiwi 

Janji gaji besar dan bonus menggiurkan kerap menjadi pintu masuk jebakan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menyasar warga Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat. Natalia, seorang perempuan muda asal Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, menjadi sorotan publik setelah diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Provinsi Shanxi, Tiongkok. Ia diberangkatkan pada tahun 2024 melalui skema pernikahan dan pekerjaan, namun belakangan terungkap bahwa Natalia dijual seharga ratusan juta rupiah dan kehilangan hak-haknya seperti ponsel, paspor, dan kebebasan (suarakalbar.co.id 14/6/2025).

Nasib tragis bahkan dialami Soleh Darmawan, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berangkat ke Thailand untuk bekerja di hotel, namun justru ditemukan meninggal dunia di Kamboja (detiknews.com 17/4/2025). Hal serupa juga menimpa Iwan Sahab dan Rizal Sampurna, keduanya pulang ke tanahair dalam keadaan tak bernyawa, sementara proses penelusuran dan permintaan pertanggungjawaban terhambat karena tidak jelasnya asal-usul perusahaan yang mempekerjakan mereka. Sementara itu, data dari Kementerian Luar Negeri dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Dubai menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Maret 2025, tercatat 19 kasus PMI yang dieksploitasi sebagai pekerja seks komersial. Modus yang digunakan cukup umum: para korban awalnya direkrut sebagai asisten rumah tangga, kemudian dibujuk untuk pindah pekerjaan dengan iming-iming gaji lebih tinggi. Sayangnya, janji tersebut berujung jebakan: mereka dipaksa bekerja di tempat prostitusi (Tempo.co 15/4/2025).

Kasus ini memicu keprihatinan publik, termasuk dari Sekjen Dewan Rakyat Dayak, Yulistianus, yang mendesak pemerintah Tiongkok segera bekerja sama dengan KBRI untuk melakukan evakuasi. Keprihatinan serupa juga disampaikan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kalbar, Herkulana Mekarryani. Ia menegaskan pentingnya kewaspadaan, terutama bagi kalangan muda, dalam menerima tawaran kerja ke luar negeri. Herkulana mengimbau agar masyarakat selalu berkonsultasi dengan lembaga resmi sebelum memutuskan bekerja di luar negeri. Peringatan ini bukan tanpa alasan, sebab kasus TPPO terus meningkat dan menyasar korban dari berbagai kalangan, termasuk perempuan muda hingga laki-laki usia produktif.

Meski pemerintah telah melarang warga Indonesia bekerja di Myanmar, Thailand, dan Kamboja karena tingginya risiko perdagangan orang, kenyataannya gelombang keberangkatan ke luar negeri masih terus mengalir. Kondisi ekonomi dalam negeri yang sulit membuat tawaran kerja di luar negeri tetap menggiurkan, meski penuh risiko.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa bekerja melalui jalur resmi saja belum cukup menjamin perlindungan bagi WNI di luar negeri. Direktur Perlindungan WNI, Jhuda Nugraha, mengingatkan bahwa lapor diri saat berada di luar negeri sangat penting sebagai langkah awal perlindungan. Sayangnya, kesadaran untuk melapor diri saat bekerja di luar negeri masih sangat minim. Dari total 89.000 WNI yang mengantongi izin kerja, hanya sekitar 15.000 orang yang tercatat melakukan lapor diri (Tempo.co).

Ironisnya, praktik TPPO juga menyasar para PMI legal. Di Dubai, misalnya, para pekerja rumah tangga diiming-imingi gaji besar agar kabur dari majikan dan justru dijebak oleh jaringan mucikari, lalu dieksploitasi sebagai pekerja seks. Fakta ini menegaskan bahwa himbauan untuk mengikuti prosedur resmi saja tidak cukup menyentuh akar persoalan. Perlindungan terhadap pekerja migran harus disertai kesadaran, pengawasan ketat, dan perbaikan menyeluruh dari sistem perekrutan hingga penempatan di negara tujuan.

Namun jika ditelusuri lebih dalam, fenomena TPPO tak bisa dilepaskan dari akar masalah sistemik yang mengatur kehidupan kita saat ini, yakni sistem kapitalisme. Dalam pandangan kapitalisme, manusia tidak lebih dari sekadar alat produksi. Selama seseorang bisa menghasilkan barang atau jasa, maka ia dianggap “bernilai”. Tetapi ketika tidak lagi produktif atau bisa digantikan, ia tak lebih dari beban. Paradigma inilah yang melahirkan normalisasi eksploitasi, termasuk dalam bentuk perdagangan manusia. Manusia dijadikan komoditas, bukan lagi makhluk yang memiliki hak dan martabat.

Maraknya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang memandang manusia hanya sebagai alat produksi. Dalam sistem saat ini, eksploitasi dianggap wajar demi keuntungan, sementara sumber daya ekonomi dikuasai oleh segelintir kapitalis hingga membuat rakyat sulit mendapat pekerjaan dan rentan terjebak iming-iming kerja bergaji tinggi di luar negeri.

Sistem ini juga mendorong keserakahan, karena asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Demi uang, pelanggaran nilai kemanusiaan pun menjadi hal biasa, termasuk dalam praktik TPPO.

Sayangnya, negara justru abai. Alih-alih menuntaskan kemiskinan dan membuka lapangan kerja, pemerintah lebih fokus pada pemasukan devisa dengan tetap membuka pengiriman PMI meski perlindungan belum optimal. Sebenarnya, rakyat yang nekat ke luar negeri tak bisa sepenuhnya disalahkan, sebab di dalam negeri mereka tak mendapat peluang yang layak.

Lebih ironis lagi, perlindungan dari negara terhadap warganya yang rentan terhadap TPPO sering kali bersifat reaktif, bukan preventif. Kampanye kesadaran memang penting, tetapi tidak cukup. Selama akar masalahnya tidak dicabut, maka korban akan terus berjatuhan. Sistem kapitalisme yang memberi ruang lebar bagi komersialisasi manusia harus dikritisi dan diganti dengan sistem yang lebih manusiawi.

Dalam Islam, hadirnya seorang pemimpin yang menjadi tameng bagi rakyatnya bukan sekadar harapan, melainkan sebuah keniscayaan yang melekat dalam sistem kepemimpinan Islam. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai. Orang-orang akan berperang di belakangnya dan berlindung dengan kekuasaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, pemimpin harus menjadi pelindung utama bagi umat dari segala bentuk ancaman, bukan justru melepaskan mereka ke medan bahaya.

Para ulama seperti Imam Ibnu Bathal dan Imam Al-Manawi menegaskan bahwa pemimpin dalam Islam bukan hanya pelindung dari serangan fisik, tetapi juga dari kezaliman, ketidakadilan, dan jebakan sistem yang merugikan rakyat. Ia harus menjaga kehormatan, keselamatan, serta kesejahteraan setiap individu.

Islam sebagai sistem hidup yang paripurna memiliki pandangan yang sangat berbeda dari kapitalisme dalam memandang manusia dan pekerja. Dalam Islam, manusia makhluk mulia yang diciptakan Allah dengan derajat tinggi. Negara dalam Islam bertanggung jawab penuh dalam menjamin kebutuhan dasar rakyatnya seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sehingga rakyat tidak perlu mengadu nasib ke luar negeri dengan risiko tinggi.

Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja yang halal, aman, dan layak bagi seluruh rakyatnya. Kehormatan dan keselamatan mereka, baik di dalam maupun luar negeri, menjadi prioritas yang tidak boleh dikompromikan.

Negara dengan sistem pemerintahan Islam memiliki sumber-sumber pemasukan yang sangat beragam dan kuat, seperti ganimah, fai, kharaj, jizyah, dan kepemilikan umum seperti hasil tambang, laut, migas, dan fasilitas publik. Dengan pengelolaan mandiri dan amanah, negara dapat memenuhi kebutuhan hidup rakyat tanpa harus menjadikan mereka komoditas perdagangan internasional.

Negara dengan penerapan sistem Islam tidak akan membiarkan warganya diperdagangkan atau dijadikan objek eksploitasi. TPPO dan segala bentuk kejahatan terhadap manusia akan diberantas sampai ke akar-akarnya, tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga mencegah penyebabnya: kemiskinan, pengangguran, dan lemahnya kontrol sosial.

Di sinilah perbedaan fundamentalnya. Sistem kapitalisme memandang manusia sebagai alat tukar, sebagai tenaga kerja murah, sebagai ladang keuntungan bagi para pemilik modal. Maka selama sistem ini yang dijadikan dasar kebijakan negara, eksploitasi akan terus terjadi, baik dalam bentuk kerja paksa, kekerasan, bahkan perdagangan manusia.

 *Penulis adalah Praktisi Pendidikan Kalimantan Barat

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan