SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Nasional Ahli Hukum: Putusan MK Soal Pemilu 2029 Langgar Konstitusi

Ahli Hukum: Putusan MK Soal Pemilu 2029 Langgar Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi. (Antara/Fakhri Hermansyah)

Jakarta (Suara Kalbar)- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029 menuai kritik dari kalangan ahli hukum tata negara.

Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Abdul Chair Ramadhan, menyebut keputusan MK tersebut sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi, bukan perlindungan terhadapnya.

Dalam keterangan tertulis kepada media, Selasa (8/7/2025), Abdul Chair menilai pemisahan pemilu yang menyebabkan pelaksanaan melewati batas waktu lima tahun bertentangan dengan ketentuan konstitusi, khususnya Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemilu harus digelar setiap lima tahun secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

“Pemisahan pemilu yang melewati masa 5 tahun justru bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Itu artinya, putusan MK merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi,” tegas Abdul Chair, Selasa (8/7/2025).

Abdul Chair menambahkan, MK telah melampaui kewenangan yuridisnya, karena perkara yang diajukan seharusnya masuk dalam wilayah open legal policy, yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, bukan yudisial.

Ia mengacu pada Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, yang secara tegas menyatakan MK tidak boleh membatalkan norma hukum yang merupakan bagian dari kebijakan hukum terbuka.

“Norma yang berada dalam ruang open legal policy adalah konstitusional, sehingga tidak bisa dibatalkan MK,” jelasnya.

Abdul Chair menyesalkan MK karena telah mengingkari prinsip judicial restraint dan terjebak menjadi positive legislator, yaitu pengambil keputusan yang justru ikut menciptakan norma hukum baru.

Menurutnya, dalil-dalil empiris yang diajukan pemohon, seperti melemahnya kualitas kedaulatan rakyat dan pelembagaan partai politik bukanlah isu konstitusionalitas norma, melainkan soal implementasi kebijakan yang tak berada dalam ranah MK.

“Dalil pemohon tak menunjukkan kerugian konstitusional yang jelas. Lalu, apakah ada jaminan bahwa pemisahan pemilu akan memperbaiki keadaan? Menurut saya, justru bisa menimbulkan mudarat yang lebih besar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Abdul Chair menyebut rekayasa konstitusional (constitutional engineering) yang didorong MK dalam pelaksanaan Pemilu 2029 sebagai bentuk ketidakadilan.

Ia menyamakan pemisahan pemilu dengan tindakan membedakan dua hal yang semestinya diperlakukan sama, yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip keadilan.

“Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pemisahan pemilu justru memperlakukan dua hal yang sama secara berbeda, ini bentuk ketidakbenaran,” tegasnya.

Sebagai informasi, MK melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memutuskan bahwa mulai tahun 2029, pemilu nasional dan pemilu lokal akan dipisahkan.

Pemilu nasional mencakup pemilihan presiden, DPR, dan DPD, sedangkan pemilu lokal meliputi pemilihan DPRD provinsi/kota/kabupaten serta kepala daerah.

Putusan ini otomatis mengakhiri sistem pemilu lima kotak serentak yang berlaku pada 2019 dan 2024, meski sebelumnya juga merupakan hasil putusan MK.

Argumentasi pemohon dalam perkara ini menyebutkan bahwa pemilu serentak melemahkan kedaulatan rakyat dan kualitas demokrasi.

Namun, bagi Abdul Chair, langkah MK ini lebih menyerupai intervensi legislatif yang tidak dibenarkan secara konstitusional.

Sumber: Beritasatu.com

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan