Jejak Mayawana Persada Rusak Hutan, Ancam Habitat Hingga Menekan Masyarakat
Pontianak (Suara Kalbar) – Eksploitasi hutan oleh PT Mayawana Persada masih terus berlanjut. Berdasarkan pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil, perusahaan ini telah menyebabkan deforestasi seluas 4.633,05 hektar sepanjang 2024.
Pada kuartal pertama (Januari-Maret 2024), pembukaan lahan mencapai 3.890,31 hektar, termasuk 1.842,69 hektar kawasan hutan gambut lindung, 2.213,63 hektar hutan gambut budidaya, serta 3.730,71 hektar habitat orangutan.
Pembukaan lahan gambut di bagian selatan konsesi mulai terdeteksi pada Maret 2024, bertentangan dengan status kawasan tersebut sebagai area lindung berdasarkan Peta RKUPHHK-HTI Mayawana periode 2012-2021. Citra satelit Februari 2024 menunjukkan pola kisi-kisi yang mengindikasikan bahwa aktivitas ini telah direncanakan sejak sebelum Maret 2024.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan surat pada 28 Maret 2024 yang memerintahkan penghentian pembukaan hutan di Logged Over Area (LOA). Namun, aktivitas deforestasi tetap berlanjut, khususnya di habitat orangutan dan kawasan gambut lindung.
Dari Juli hingga Desember 2024, GLAD alerts mencatat potensi pembukaan hutan seluas 334 hektar, sementara RADD alerts mendeteksi pembukaan seluas 1.931 hektar. Jika diakumulasi sejak 2016, hingga Februari 2025, PT Mayawana telah menghancurkan sekitar 42,5 ribu hektar hutan—setara empat kali luas Kota Pontianak.
“Mayawana Persada ini paket komplit merusaknya, Ia merusak hutan, Ia merusak gambut, dan merusak habitat spesies orangutan yang critically endangered atau di ambang kepunahan,” ujar Manager Kampanye Satya Bumi, Sayyidatiihayaa Afra, dalam konferensi pers di Pontianak pada Jumat (21/2/2025).
Selain merusak tutupan hutan gambut dan habitat orangutan, PT Mayawana juga mengalihfungsikan lahan gambut seluas 4.056,32 hektar pada 2024 menjadi perkebunan monokultur akasia dan eukaliptus. Hal ini berdampak besar terhadap keseimbangan ekosistem, karena lahan gambut berperan dalam menyimpan karbon dan menjaga keseimbangan air. Deforestasi lahan gambut seluas 20.147,10 hektar pada 2023-2024 menyebabkan pelepasan 584.124,87 ton CO2 ke atmosfer.
Selain berdampak pada lingkungan, aktivitas PT Mayawana juga merugikan ekonomi dan sosial masyarakat adat Dayak yang bermukim di sekitar konsesi. Pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil dan tim pendamping warga menemukan bahwa perusahaan sering menimbulkan konflik horizontal untuk melancarkan operasinya.
Pada September 2024, dua tokoh masyarakat dari Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, yakni Tarsisius Fendy Sesupi (37) dan Ricky Prasetya Mainaiki (25), dipanggil oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Barat sebagai saksi atas dugaan pelanggaran Pasal 368 Ayat (1) KUHP dan pasal lainnya.
“Kenapa kita sebut ada praktik perampasan tanah dan sumber kehidupan? Karena kenyataannya praktik ini terjadi di konsesi Mayawana Persada. Masyarakat di Kualan Hilir dipaksa menerima tali asih dari perusahaan dengan nilai Rp150 per meter atau Rp1,5 juta per hektar. Jika menolak, lahan mereka tetap akan digusur, meski sudah dikelola turun-temurun,” ungkap Tim Advokasi Link-AR Borneo, Sofian Effendi.
Deforestasi yang dilakukan PT Mayawana juga mengganggu keseimbangan ekosistem dan meningkatkan risiko banjir di sekitar wilayah konsesi. Warga yang menolak dan mengkritik kebijakan ini kerap mengalami intimidasi dan kriminalisasi.
“Intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga menimbulkan ketakutan, terutama dengan kehadiran aparat di sekitar konsesi. Ini berdampak pada krisis sosial-ekologis. Bahkan, beberapa waktu lalu, banjir di sekitar konsesi Mayawana lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendrikus Adam.
PT Mayawana memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) melalui Surat Keputusan Nomor 732/Menhut-II/2010 dengan luas konsesi mencapai 136.710 hektar di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Izin tersebut berlaku selama 60 tahun, memberikan perusahaan kuasa penuh untuk mengelola lahan dalam jangka waktu panjang.
Pada periode 2019-2023, PT Mayawana melakukan penggusuran besar-besaran, menggantikan lahan warga yang berisi kebun karet, durian, dan tanaman lokal dengan akasia. Bahkan, di Bukit Sabar Bubu, alat pertanian warga dibakar setelah mereka diusir dari lahan mereka sendiri.
Koalisi Masyarakat Sipil menemukan bahwa PT Mayawana membangun kanal untuk mengeringkan gambut demi kepentingan operasionalnya. Padahal, Pasal 26 ayat (1) huruf b PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut secara tegas melarang pembangunan drainase yang menyebabkan gambut mengering. Dengan demikian, PT Mayawana wajib memulihkan kembali kondisi gambut sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut.
Selain itu, perusahaan tidak mengindahkan Surat Keputusan KLHK Nomor S.360/APL/PUPH/HPL/1/0/B/3/2024 yang memerintahkan penghentian penebangan di LOA untuk mendukung Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Pelanggaran ini berpotensi dikenai sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin.
Di sisi lain, PT Mayawana diduga melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat Desa Kualan Hilir dengan gugatan yang tidak berdasar. Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66 menyatakan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.”
Baik dari sisi perlindungan lingkungan maupun hak asasi manusia, PT Mayawana diduga telah melakukan berbagai pelanggaran hukum yang harus dipertanggungjawabkan.
Penulis: Maria
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now