Menelusuri Sejarah Kesultanan Sanggau di Masa Kemerdekaan

Istana Kerajaan Sanggau. [internet]

Oleh: Akwila, Veronika Fani, Yohanes Supranama

Istana Surya Negara adalah sebuah istana yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan atau Kesultanan sanggau dahulunya, istana ini terletak di Jalan Pangeran Mas, Desa Tanjung Sekayam, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Indonesia.

Sejarah singkat awal mula Kesultanan Sanggau

Didirikan pada tahun 1310 oleh Dara Nante, Kerajaan/Kesultanan Sanggau sudah mengalami perpindahan pusat pemerintahan selama beberapa kali dengan masing-masing daerah kekuasaannya. Ketika pertama kali didirikan, pusat Kerajaan Sanggau berada di Labai Lawai tepatnya di dekat Sungai Sekayam. Lalu, pada era pemerintahan Dayang Mas Ratna (1485-1528 M),yaitu keturunan Dara Nante, pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau dipindahkan dari Labai Lawai ke Mengkiang di muara Sungai Sekayam. Pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Sanggau di Mengkiang bertahan hingga masa kekuasaan Abang Bungsu yang bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658 hingga 1690 M. Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau.

Selain itu, meski bukan sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing daerah taklukan tersebut ditempatkan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya adalah Semerangkai, Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004).

Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang. Hal tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dari Kerajaan/Kesultanan Sanggau dahulu. Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan Barat. Sebelah utara Sanggau berbatasan dengan Serawak (Malaysia),sebelah selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan sebelah timur dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.

Keadaan Kesultanan Sanggau di masa pemerintahan Belanda

Pada masa pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876), Belanda datang ke Sanggau dan meminta Raja Thahir untuk diberikan tempat bagi wakilnya. Pada awalnya, kedatangan mereka disambut baik. Namun, Belanda segera memanfaatkan kebaikan itu untuk menanamkan pengaruhnya di Kerajaan Sanggau.

Terlebih lagi ketika Panembahan Mohammad Thahir II wafat dan digantikan oleh Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara, kekuasaan Belanda semakin kuat. Hal ini ditandai dengan campur tangan Belanda dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan. Selain itu, Belanda juga telah memaksakan perjanjian dengan Kerajaan Sanggau.

Keadaan Kesultanan Sanggau di masa Jepang

Dan di tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Kemudian sejak itulah masa pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang. Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau (Faturrahman, et.al., tt:98). Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang. Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.

Sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau

Sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau mempunyai undang-undang yang didasarkan atas hukum adat dan hukum Islam. Akan tetapi, ketika Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggu, segala kebijakan yang dirumuskan Kesultanan Sanggau harus mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selain itu, Kesultanan Sanggau juga memiliki lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama. Lembaga ini dipimpin oleh Haji Muhammad Yusuf bergelar Pangeran Tumenggung Suria Igama dan Ade Ahmaden Baduwi bergelar Raden Penghulu Suria Igama (Basilius, dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004). Pembentukan Raad Agama ini sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk turut campur dalam persoalan-persoalan agama (Islam) yang sebelumnya menjadi wewenang penuh Sultan Sanggau.

Pada tanggal 30 Oktober 1932, dilakukan penyempurnaan hukum adat yang berlaku di Kesultanan Sanggau. Hukum adat yang sebelumnya berjumlah 34 pasal ditambah menjadi 70 pasal. Dalam hukum baru tersebut dikatakan bahwa segala urusan agama tidak hanya diputuskan oleh Sultan Sanggau, tetapi juga harus dilakukan oleh Raad Agama. Urusan-urusan yang ditangani oleh Raad Agama antara lain: nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, penetapan bulan Ramadhan, fardlu kifayah, pengangkatan imam dan khatib, dan bilal (muadzin) masjid (Basilius, dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004).

Belanda memang berupaya mengendalikan sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau. Hal yang paling jelas adalah ketika terjadi suksesi kepemimpinan kesultanan di mana Belanda sangat berpengaruh dalam hal ini. Belanda, misalnya, menobatkan Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915),sebagai pengganti Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Orang-orang yang menolak pengangkatan itu, salah satunya adalah Pangeran Dipati Ibnu, dibuang ke Jawa oleh Belanda. Campur-tangan Belanda dalam proses pengangkatan pemangku adat Sanggau terus terjadi sampai tahun 1941.

Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia pada tahun 1949, maka kedudukan Kesultanan Sanggau secara politik sudah tidak berlaku lagi karena Sanggau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berubah bentuk menjadi swapraja. Sejak tanggal 2 Mei 1960, riwayat Kesultanan Sanggau berubah status menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Lontaan, 1975:177). Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau.

Kesultanan Sanggau di masa kemerdekaan

Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya diKesultanan Sanggau. Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai penggantinya (Lontaan, 1975:177). Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta.

Tahta Panembahan Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan hingga Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir (Basilius, dalam Pontianak Pos, 3 Oktober 2004). Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djaman selaku Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayatKesultanan Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.

Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin. Penggunaan gelar Pangeran (Pangeran Ratu dan Pangeran Agung) sendiri digunakan sebagai gelar tertinggi Kerajaan Sanggau pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, karena para Sesepuh dan Wali Negeri (yang memiliki tugas menobatkan, menurunkan, dan menasihati Raja) menilai Sanggau merupakan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tak boleh ada matahari kembar dalam suatu Negara serta tak ada Negara didalam sebuah Negara.

*Penulis adalah Kelompok 6 KKL Mahasiswa Prodi Sejarah IKIP PGRI Pontianak

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS