Caleg Berjuang untuk Rakyat atau Partai Politik?

Kundori

Oleh: Kundori, S.Sos.I, M.Sos

“Selamat bang, mbak, jadi Caleg. Selamat berjuang,” itulah kira-kira ucapan mulai banyak disampaikan sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) per 4 November 2023 sebagai kontestan pada Pemilihan Legislatif (Pileg) yang akan dihelat pada 14 Februari 2024.

Para Caleg setelah ditetapkan, mulai senang karena dipastikan bisa bergerak mencari dukungan kepada masyarakat. Otomatis juga atribut kampanye harus cetak ulang jika sebelumnya sudah cetak kartu nama dan baliho terpampang masih status Bacaleg. Apalagi bagi caleg pemula akan lebih tambah “PeDe”.

Jika saat menjadi Bacaleg sudah ‘blusukan’ yang dikemas silaturahmi di rumah keluarga, teman dan tokoh-tokoh masyarakat, dengan ditetapkan sebagai caleg tetap akan lebih gencar membentuk tim sukses dan relawan di wilayah daerah pemilihan (dapil) nya masing-masing.

Apa itu Caleg? Caleg adalah singkatan dari calon legislatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), caleg berarti calon legislator. Namun, menurut Holy Adib dalam bukunya yang berjudul Pendekar Bahasa (2019), caleg bukanlah singkatan dari calon legislatif. Melainkan caleg adalah calon anggota dewan legislatif atau calon anggota lembaga legislatif.

Secara sederhana, caleg adalah calon anggota dari lembaga legislatif seperti DPR atau DPRD pada tiap provinsi dan kabupaten/ kota. Caleg merupakan individu yang menjadi perwakilan dari partai politik. Untuk menjadi caleg, harus melewati proses verifikasi terlebih dahulu yang dilakukan oleh KPU.

Nah, apa sih tujuan Caleg? Caleg memiliki tujuan untuk terpilih menjadi anggota legislatif agar dapat mewakili setiap kepentingan masyarakat pada lingkup lembaga legislatif, contohnya: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia.

Caleg diharapkan untuk mengajukan, mengesahkan, dan membahas mengenai undang-undang demi memperjuangkan kepentingan setiap rakyat yang sedang diwakili.

Berdasarkan pada teori Abcarian , hubungan wakil rakyat yang terjadi di Indonesia ialah “partisan” karena wakil rakyat bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari organisasi sosial politik yang mengusungnya. bukan sebagai wali (Trustee) ataupun utusan (delegate).

Setelah wakil rakyat dipilih oleh pemilihnya atau yang terwakilkan maka terlepaslah hubungannya dengan pemilihnya tersebut, dan mulai terjalin hubungannya dengan partai politik yang mencalonkannya tadi dalam pemilihan umum.

Hubungan partisan tersebut akan menjadi belenggu bagi wakil rakyat yang benar-benar ingin menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya manakalah hal itu berseberangan dengan kebijakan partai politiknya.

Bagi masyarakat atau konstituen tidak mau tau soal itu. dipikiran masyarakat mempunyai sosok wakil rakyat yang sudah dipilih tentu berharap bisa memperjuangkan aspirasi khususnya dalam pembangunan di daerahnya.

Anggota Dewan terpilih tentunya sudah tahu dengan kondisi geografis daerah yang diwakilinya, kenal dan dekat dengan konstituennya dan pastinya telah mempunyai program-program “unggulan” yang telah dirumuskan untuk diperjuangkan menjadi suatu kebijakan kepentingan publik. Contoh masalah kesehatan, pendidikan, transportasi, hukum, ruang publik dan lain sebagainya.

Janji-janji pada saat kampanye harus benar-benar ditunaikan. Nilai kejujuran, amanah dan melayani selalu terpatri dalam diri setiap anggota dewan yang siap menjadi pelayan untuk rakyat.

“Pelayan” rakyat yang baik adalah pelayan yang selalu akan memberikan yang terbaik buat rakyatnya, pelayan yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi maupun golongan. Semoga!

*Penulis adalah Praktisi Komunikasi dan Politik Kalbar

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS