Aksi Damai Praperadilan Jumardi, Bruder Step: Putusan Harus Sesuai Fakta Persidangan
![]() |
Bruder Stephanus Paiman saat menyampaikan orasinya di depan kepolisian dan hakim PN Pontianak. |
Pontianak (Suara Kalbar) – Puluhan warga Kalimantan Barat berbagai etnis serta mahasiswa melakukan aksi damai di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, Jumat (26/3/2021). Aksi damai tersebut dengan mengenakan pakaian berbagai etnis sebagai bentuk memberikan dukungan kepada hakim dalam persidangan praperadilan untuk memberi keputusan berkeadilan.
Ketua FRKP yang menjadi koordinasi aksi damai di halaman PN Pontianak, Bruder Stephanus Paiman mengatakan aksi itu merupakan bentuk solidaritas terhadap proses sidang praperadilan dijalani oleh Jumardi melawan termohon praperadialan Kepala Polda Kalimantan Barat dalam kasus penjualan sepuluh burung Bayan.
“Kami dari Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) dan adik-adik mahasiswa kembali menyuarakan dan mengetuk hati majelis hakim memutuskan perkara ini sesuai dengan fakta di persidangan,” katanya.
Kedatangan masyarakat tersebut, lanjut Step, bukan untuk melakukan intervensi kepada majelis hakim. Melainkan mengawal dan menerima apapun putusan jika sesuai dengan fakta dalam persidangan.
“Soal penangkapan, saya tidak ingin berkomentar. Tapi saya ingin mengajak kita semua, agar di kemudian hari tidak ada lagi Jumardi lainnya yang menjadi korban,” ucapnya.
Aparat kepolisian tampak ketat mengawal aksi damai ini.
Bahkan, sidang praperadilan agenda kesimpulan dari kedua belah pihak pun dijaga kepolisian.
“Senin nanti adalah keputusan dari hakim. Kami berharap keputusan itu sesuai fakta di persidangan. Kami tetap kawal kasus ini sampai putusan. Karena kami di FRKP sudah jelas, lintas etnis dan agama, yang tidak memandang siapa tapi kami bicara tentang kemanusiaan,”terang Step yang juga Penanggung Jawab Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak & Justice, Peace and Integrty Of Creation (FRKP & JPIC Cap).
Diketahui, dalam persidangan yang keenam kalinya ini, Andel yang merupakan kuasa hukum Jumardi juga turut menjelaskan tentang kesimpulan dari agenda sidang yang digelar.
Begitu juga tim kuasa hukum dari termohon praperadilan yang membacakan kesimpulan.
Dalam pembacaan kesimpulan di depan Hakim Tunggal Deny Ikhwan dan Panitera Sandta Dewi Oktavia ini, enam kuasa hukum pemohon praperadilan menyampaikan bahwa Jumardi seorang warga Sambas kelahiran 12 Maret 1989 itu merupakan Pekerja Migran Indonesia yang dipulangkan secara paksa dari salah satu perusahan kelapa sawit di Malaysia, sebagai akibat Pandemi Covid-19.
“Hampir setahun, Jumardi di kampungnya, tidak ada pekerjaan sama sekali,” tutur Andel.
Sejak itulah,timpal Andel, ketiga anaknya sering menangis kelaparan, karena Jumardi tidak ada uang untuk membeli beras. Jumardi sebagai tulang punggung keluarga pun harus memutar otak demi bisa makan bersama keluarganya di gubuk yang ditinggali.
Di rumah yang beratapkan daun nipah ini, tinggal Jumardi bersama istri dengan anak pertama berumur 9 tahun, anak kedua berumur 3 tahun dan anak yang ketiga berumur 4 bulan sering sakit-sakitan. Serta dua mertua, yang laki-laki berusia 70 tahun dan perempuan berusia 65 tahun.
“Mereka tinggal di rumah gubuk, beratapkan daun nipah, dengan dinding kayu yang sudah rapuh serta bolong-bolong dan tinggal menungu waktu akan roboh, jika diterpa angin dan hujan. Karena keadaan yang tidak memiliki pekerjaan serta merupakan satu-satunya tulang punggung keluarga, maka dia memilih pekerjaan menangkap burung,” beber Andel dengan nada terharu.
Kemudian pada awal Februari 2021, Jumardi menangkap burung menggunakan perangkap dari getah. Hasilnya, mendapatkan 10 ekor burung bayan. Lalu ia berniat menjual burung bayan tersebut seharga Rp 70 ribu per ekor. Dengan cara menawarkan melalui facebook.
“Niat dari hasil penjualan tersebut akan dipergunakan untuk berobat karena anak yang kecil sakit-sakitan, serta untuk membeli beras dan susu untuk anak yang masih kecil,” terangnya.
Lalu, pada 10 Februari 2021, kurang lebih pukul 16.00 Wib, Jumardi mendapat informasi dari salah satu orang yang tidak dikenal melalui facebook. Orang tersebut berniat membeli 10 ekor burung bayan dengan harga Rp 750 ribu.
Calon pembeli, melalui facebook meminta supaya burung tersebut dibawa pada 11 Februari 2021 dan meminta bertemu di Tugu Limau Tebas, pada pukul 12.30 Wib. Dari kampung Jumardi ke Tugu Limau Tebas kurang lebih satu jam setengah perjalanan.
Ia harus melewati jalan setapak, berlubang-lubang, yang masih semak-semak, serta berdebu dan harus menyeberangi sungai karena tidak ada jembatan. Ia bahkan menaikkan sepeda motornya ke atas sampan dengan biaya Rp 4.000, dengan jarak tempuh penyeberangan selama kurang lebih 15 menit.
Ia membawa 10 ekor burung bayan yang disimpan dalam kotak kardus. Kurang lebih 15 menit menunggu di Tugu Limau, kemudian datanglah tujuh orang yang tidak dikenal. “Jumardi langsung ditangkap oleh 7 orang itu, lalu dibawa masuk ke mobil. Selanjutnya dibawa menuju Pontianak,”ungkapnya.
Lalu, lanjut Andel, pada malam itu juga, Jumardi diperiksa sebagai tersangka sampai pukul 03.00 WIB, tanpa didampingi penasihat hukum, serta tidak dibolehkan menghubungi keluarga. Setelah itu pemeriksaan terhadap Jumardi dilanjutkan hingga keesokan harinya.
“Tanpa didampingi penasihat hukum, selanjutnya kurang lebih jam 15.00 WIB, Jumardi disuruh menandatangani surat perintah penangkapan dan penahanan,”ucap Andel.
Atas dugaan telah melakukan tindak pidana dibidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya berupa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
Andel menyebutkan, bahwa penangkapan ini tidak sah.
Karena, jika peristiwa tindak pidana itu dianggap melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990, maka peraturan itu merupakan tindak pidana khusus dan secara hukum yang berwenang melakukan penangkapan terhadap Jumardi adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan.
“Mengenai kesalahan prosedur penangkapan secara jelas karena termohon praperadilan secara nyata telah mengambil alih fungsi tugas kewenangan dari PPNS dari Balai Pengamanan Dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan. Hal ini dapat dilihat dari nama-nama petugas yang tercantum dalam Surat Perintah Penangkapan,”tegasnya.
Semestinya, lanjut Andel, dalam penanganan terhadap peristiwa hukum tersebut, penyidik termohon praperadilan hanya melakukan tugas sebagai koordinasi dan pengawasan, dan bukan berperan sebagai petugas yang berwenang melakukan penangkapan.
“Oleh karena penangkapan bukan dilakukan PPNS dari Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan, maka proses penangkapan yang dilakukan termohon praperadilan telah bertentangan dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,”bebernya.
Penyidik, kata Andel, mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut.
“PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana sesuai undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri,” ucap Andel lagi.
Selain itu, sambung Andel, kesalahan prosedur penangkapan terhadap Jumardi yang dilakukan termohon praperadilan saat melakukan penangkapan, tidak pernah memperlihatkan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan kepada Jumardi.
“Kesalahan prosedur termohon praperadilan lainnya dalam melakukan penangkapan juga tidak pernah menyampaikan Surat Perintah Penangkapan kepada istri pemohon praperadilan. Sehingga tindakan termohon praperadilan melanggar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” sambungnya.
Kemudian, penyitaan barang bukti pun dinilai salah. Karena, sambung Andel, termohon praperadilan juga melakukan penyitaan terhadap satu unit kendaraan roda dua milik Jumardi yang dipergunakan pemohon praperadilan untuk membawa burung bayan.
Penyitaan itu, kata Andel, tanpa disertai surat izin dari Pengadilan Negeri Sambas yang merupakan wilayah hukum tempat locus delicti. Maka tindakan termohon praperadilan dalam melakukan penyitaan tersebut telah menyalahi prosedur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
“Masih ada fakta-faktanya yang akan kami kemukakan berkenaan tidak sahnya penangkapan dan penahanan atas Jumardi ini. Kami harap, sisi kemanusiaan juga menjadi pertimbangan,”jelas Andel.
Kesimpulan yang dibacakan ini, kata Andel, intinya bahwa proses penangkapan, penahanan, penetapan Jumardi sebagai tersangka semua tidak sah karena tidak sesuai dengan prosedur.
“Kalau kami secara jujur, berharap ini bisa menjadi perhatian bagi seluruh penegak hukum agar kedepan memandang lebih teliti tentang asas keadilan,”terangnya.
Menurut Andel, sejak awal hingga kini persidangan praperadilan, pihaknya mendapat keuntungan dari bukti dan saksi yang dihadirkan. Namun demikian ia menyerahkan seluruh hasil persidangan kepada majelis hakim sebagai pemberi keputusan.
“Kita dengar bersama bahwa kesaksian para saksi dari pihak termohon tidak sinkron dengan yang disampaikan termohon di hadapan majelis hakim. Makanya kami berharap, itu menjadi pertimbangan hakim,”katanya.
Lain pihak, Kepala Bidang Hukum Polda Kalbar Kombes Pol Nurhadi Handayani pun mengatakan hal senada. Dirinya menyerahkan seluruh hasil persidangan kepada hakim.
“Dan seperti yang di sampaikan oleh hakim, bahwa persidangan ini bukan menentukan siapa benar dan salah, tetapi melihat fakta atau prosedur dalam proses penyelidikan, dari pemohon sudah menyampaikan fakta-faktanya, dari pihak penyidik juga sudah. Semua kita kembalikan ke hakim atas fakta-fakta dan bukti yang kita sajikan,”ujarnya memungkasi.
Penulis : Diko Eno
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now