SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda News Kisah Suyanto Bertahan Saat Pandemi, Mengais Rupiah dari Tetesan Karet

Kisah Suyanto Bertahan Saat Pandemi, Mengais Rupiah dari Tetesan Karet

Ketika dunia dilanda pandemi Covid-19, kehidupan masyarakat
kian terpuruk. Tapi ada satu kisah bagaimana Suyanto (57), warga Entikong, coba
bertahan hidup dengan menoreh karet. Berikut laporan wartawan
suarakalbar.co.id, Agus Alfian, dari Entikong.

 

Karet menjadi andalan masyarakat perbatasan RI-Malaysia untuk menopang ekonomi keluarga selama Pandemi Covid-19.

Entikong (Suarakalbar) – Jarum jam baru menunjukkan pukul
05.00 WIB, ketika Suyanto mulai menyadap satu per satu pohon karetnya di Dusun
Semeng, Desa Semanget, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, perbatasan
Indonesia dengan Malaysia.

Ditemani sinar matahari yang menerobos malu-malu di sela
rimbun dedaunan, ayah tiga anak itu mengumpulkan tetes demi tetes karet untuk
ditukar menjadi lembar-lembar rupiah. Karet adalah salah satu komoditi andalan
warga perbatasan RI-Malaysia setelah anjloknya harga lada.

“Ini satu-satunya cara kami di perbatasan untuk bertahan di
tengah pademi Covid-19. Karena dampak Covid-19 ini memukul perekonomian
masyarakat,” ungkap Suyanto, Jumat (13/11/2020).

Menyadap karet kembali dilakukan Suyanto untuk menghidupi
keluarganya, sejak mantan buruh sawit itu tidak lagi bekerja di Malaysia. Ia
memilih pulang ke tanah air, setelah Malaysia memberlakukan lockdown yang
berimbas pada penutupan sementara perkebunan sawit tempatnya bekerja, delapan
bulan lalu.

Pekerjaan ini bukan hal baru bagi Suyanto. Semasa muda, pria
yang melewati hidup diantara batas dua negara itu sudah terbiasa menyadap
karet. Ketika suarakalbar.co.id, menemuinya pagi ini, Suyanto tengah menyadap
di kebun warisan keluarga.

Meski tak selincah dulu, tangan keriput Suyanto masih
terampil menyayat batang-batang karet. Ada sekitar lima ratus pohon karet yang
ia sadap demi menyambung hidup. Itupun hanya sekedar untuk makan dan jajan
anak-anaknya yang masih bersekolah.

“Harga karet saat ini tidak sebagus 5 tahun lalu, sekarang
untuk jinton (kepingan karet) sekitar Rp7.000 per kilogram. Warga di perbatasan
lebih memilih membuat jinton ketimbang karet kepingan karena harga tidak jauh
berbeda,” ujar dia.

Bukan cuma harga jual karet yang jadi dilema, kondisi alam
juga menjadi kendala bagi Suyanto. Ia menuturkan, saat curah hujan tinggi
seperti sekarang hasil sadapan karet tidak maksimal.

“Kalau musim hujan begini, (kualitas) getah yang
dihasilkan tidak sebagus waktu kemarau,” tambah Suyanto.

Ia mengatakan, hasil sadapan karet ini tidak bisa langsung
dijual ke pengepul. Getah hasil sadapan itu, ia kumpulkan dulu, lalu diolah
menjadi jinton baru bisa dijual.

“Hasil sadapan karet yang diolah menjadi jinton akan dijual
kepada pengepul setelah terkumpul dalam satu pekan,” ucapnya sembari bersandar
di sebatang pohon karet.

Untuk makan sehari-hari Suyanto menghemat dari Bantuan
Sosial Tunai (BST) pemerintah sambil menunggu kepingan karetnya dibeli
pengepul. Meski sulit bertahan di tengah pandemi, ia bersyukur masih ada karet
yang bisa menopang perekonomiannya. (*)

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan