Prostitusi Anak di Kota Layak Anak
![]() |
| . |
OLEH: YENI ARISSA
DIGITALISASI dalam semua aspek aktivitas, tidak selalu berbuah manis. Prostitusi yang notabene perbuatan maksiat pun memanfaatkan media sosial untuk beroperasi. Lebih parahnya lagi dengan kecanggihan teknologi yang sangat cepat diserap generasi milenial, mereka tak lagi diakomodir oleh seorang mucikari atau germo, bahkan ada yang sudah mandiri beroperasi dan menjajakan prakteknya dengan jaringan yang luas. Hal ini terjadi bahkan di kota-kota yang sudah mendapatkan penghargaan menuju Kota Layak Anak (KLA).
Diungkap oleh Ketua Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) Kalbar yakni Ibu Devi Tiomona, bahwa syarat penetapan KLA menjadi hal yang selalu menjadi prioritas pemerintah. Padahal menurut beliau, ada hal yang semestinya perlu mendapatkan fasilitas, yakni keluarga yang ramah anak. Rumah saja kadang membuat anak merasa tidak nyaman dan aman. Hal ini menyebabkan anak lebih memilih untuk berada diluar rumah (Suara Pemred Kalbar, 30/06/2020).
YNDN Kalbar mencatat telah menangani 64 kasus prostitusi pada rentang bulan Januari hingga Juni 2020. Rinciannya yakni 2 kasus pelajar SD, 56 kasus pelajar SMP dan 6 pelajar SMA. Dari data ini, kita bisa melihat semua dilakukan kalangan pelajar dan terjadi peningkatan yang paling besar justru di tengah pandemi Covid-19 ini. Sejak Maret hingga sekarang saja misalnya, angka kasus yang ditangani YNDN sebanyak 49. Sementara di Januari dan Februari 2020 masing-masing berjumlah 8 dan 7 kasus saja. (Tribun Pontianak, 1/7/2020).
Di tahun 2019, Kota Pontianak mendapat predikat pratama menuju Kota Layak Anak, yang ini berarti terjadi penurunan kategori yang sebelumnya telah meraih kategori Madya. Selain permasalahan administrasi, kasus-kasus yang menimpa anak terus menjadi bahan evaluasi baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, aktivitis perempuan dan komunitas yang peduli dengan problematika anak.
Regulasi KLA adalah regulasi yang terpusat di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Kita ketahui bahwa regulasi ini mengukur indikator pencapaian KLA dengan kerangka formal. Pendekatan-pendekatan terhadap penyelesaian masalah masih menuai kritik. Mengingat begitu banyak program kementrian yang terkait kebutuhan dan perlindungan anak, namun tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap kasus-kasus anak yang realitanya terjadi. Trend kasus anak menjadi korban dan pelaku kejahatan kian meningkat.
Impian Indonesia Layak Anak (Idola) kian jauh dari harapan. Apalagi konsep dan aplikasi kebijakan diwarnai dari solusi yang ditawarkan oleh barat. Ingin meniru perencanaan pembangunan kota-kota besar seperti Milan, Berkeley dan California yang dianggap mampu merangkul kebutuhan anak. Bahkan UNICEF menggalakkan promosi perencanaan kota di seluruh dunia dengan melibatkan anak-anak sebagai cara terbaik. Sementara suara anak pada kenyataannya masih juga diabaikan. Sebagaimana suara anak di daerah-daerah konflik, daerah yang terkena wabah, bencana alam dan di pengungsian.
Mari kita perdalam. Barat sangat mengagungkan paham kebebasan (liberalisme) dan pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Memiliki sikap yang kompromis, tidak anti agama namun cenderung mengabaikan nilai-nilai spiritualitas atau pengamalan ajaran agama. Memberikan kebebasan sekaligus membiarkan adanya pelanggaran ajaran agama. Misalkan anak masa pubertas yang sudah punya hasrat tidak mengapa pacaran, asalkan tidak sampai hamil, sehingga kondomisasi menjadi solusi singkat yang diberikan.
Karena liberalisme dan sekularisme itulah, prostitusi pun tumbuh subur. Berdasarkan laporan dari Havocscope, lembaga peneliti pasar gelap di dunia termasuk prostitusi, Indonesia adalah salah satu negara dengan perputaran uang dari prostitusi terbesar di dunia. Dikutip Detik Finance, Havocscope mencatat total perputaran uang dari bisnis prostitusi mencapai US$ 186 miliar atau bila dihitung dengan kurs saat ini mencapai Rp 2.697 triliun (kurs: Rp 14.500/dolar AS). Indonesia berada di antara 24 negara yang ada di daftar Havocscope. Menurut laporan ini, perputaran uang di dunia prostitusi di Indonesia mencapai US$ 2,25 miliar atau setara Rp 32 triliun (pada kurs Rp 14.500). Mengalahkan bisnis narkoba di Indonesia yang diprediksi nilai peredarannya mencapai Rp 6-8 triliun pertahun (penelitian United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).
Pelaku bisnis prostitusi bebas melenggang di alam sistem liberalisme dan sekularisme. Tanpa memikirkan dampak baik-buruknya, apalagi halal-haram. Mereka bebas berperilaku sesuai dengan apa yang dia sukai sebagai wujud pemenuhan hak asasi manusia. Termasuk hal perzinahan dalam prostitusi. Asalkan suka sama suka maka mereka merasa aktivitas menjual diri mereka nilai sah-sah saja, bayaran murah saja mereka enjoy menjalani apalagi jika mendapat bayaran fantastis. Loe jual, gue beli. Maka tidak heran jika kemaksiatan semakin merajalela karena mereka diajarkan oleh sistem ini agar tidak memikirkan tentang dosa.
Ketika tidak lagi Islam yang menjadi pedoman dalam mengatur kehidupan, kenikmatan dunia dikejar sekencang-kencangnya untuk kepentingan syahwatnya semata. Demikian pula sistem yang mengatur kehidupan masyarakatnya saat ini yang menderaskan kebebasan (hurriyah) bagai meneguk air laut, diminum menambahkan nafsu meminumnya terus. Inilah yang harus kita akhiri dengan sistem alternatif yakni dengan diterapkannya sistem berdasarkan kitab suci Al Qur’an dan As Sunnah.
Islam meniscayakan aturan yang integral dan komprehensif. Tidak ditangani setengah hati, tidak berkiblat pada solusi barat dan tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang minim penyelesaian. Nasib anak menjadi kewajiban Negara untuk menjaminnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim).
Tak heran Khalifah Umar bin Khattab ra menjadi pribadi yang sangat tersentuh ketika mendapati ditengah blusukannya dimalam hari, ada tangisan anak-anak yang kelaparan. Sementara sang ibu mereka sedang menghibur anak-anaknya dengan rebusan batu. Tersentuh sang khalifah hingga mengutuk diri dan memanggul sendiri gandum hingga memasakkkannya untuk mereka. Betapa kebutuhan akan pangan adalah kebutuhan rakyatnya termasuk anak-anak.
Bagaimana pula khalifah Umar memastikan anak-anak dalam kepribadian yang jujur. Ia pernah menguji seorang anak yang menggembalakan ternak tuannya. Anak tersebut tak mau menjualkannya kepada Umar meski Umar sarankan untuk berkata bahwa gembalaannya dimakan serigala. Anak tersebut memang seorang budak, tapi jiwanya merdeka. Ia tak bergeming, ternyata ia lebih menyadari keberadaan Allah yang tahu apapun perbuatannya, anak itu tak mau berbohong. Atas kejujurannya, Khalifah memerdekakannya dari status budak kepada tuannya. Khalifah pun telah memastikan bagaimana akhlaq anak-anak yang tumbuh dalam kepemimpinannya.
Pilar pelaksana aturan Islam adalah individu dalam keluarga, masyarakat dan negara. Individu dalam keluarga harus senantiasa dipupuk ketaqwaannya dengan optimal. Orang tua juga mempunyai peranan penting dalam menyayangi anak-anak, mendidiknya, serta menjaganya dari kemaksiatan, ancaman kekerasan, kejahatan, serta terjerumus pada azab neraka (QS. At-Tahrim [66]:6). Semua anggota keluarga punya kesadaran yang baik akan pentingnya beribadah dan berperilaku sesuai dengan perintah Allah SWT dan menjauhi diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Sehingga tidak ada alasan karena ekonomi sekalipun sampai terjun ke dunia prostitusi karena ketaqwaan yang dimilikinya.
Masyarakat pun demikian. Masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan yang didasari akan ketundukan pada ajaran agamanya serta menjalankan tugasnya ber-amar ma’ruf nahyi mungkar. Prostitusi yang terindikasi di lingkungannya tidak mudah beraktivitas meski sudah menjadi lahan bisnis kelompok tertentu.
Namun pilar paling kuat dalam menuntaskan prostitusi adalah negara (daulah). Dalam Islam, ada mekanisme sistemik yang dilakukan agar tidak ada satupun celah prostitusi ini bertumbuh dan benar-benar bisa menjadikan kota-kota yang ada sangat layak bagi tumbuh kembang anak-anak. Diantara mekanisme itu adalah penerapan sistem ekonomi, pendidikan, sosial, media dan sistem sanksi yang berdasarkan Islam.
Pertama, penerapan sistem ekonomi Islam. Islam mewajibkan Negara menyediakan lapangan kerja yang cukup dan layak agar para kepala keluarga dapat bekerja dan mampu menafkahi keluarganya. Sehingga tidak ada anak yang menjual dirinya, menjajakan temannya, bergaul secara bebas, atau menjadi terlantar, menjadi korban pelecehan, menjadi korban kekerasan oleh orang tua yang stress karena ekonomi dan lain-lain. Para perempuan akan fokus pada fungsi keibuannya (mengasuh, menjaga, dan mendidik anak) karena tidak dibebani tanggung jawab nafkah.
Kedua, penerapan sistem pendidikan Islam. Negara wajib menetapkan kurikulum berdasarkan akidah Islam yang akan melahirkan individu bertakwa. Individu yang mampu melaksanakan seluruh kewajiban yang diberikan Allah dan terjaga dari kemaksiatan apapun yang dilarang Allah. Salah satu hasil dari pendidikan ini adalah kesiapan orang tua untuk menjalankan salah satu amanahnya yaitu merawat dan mendidik anak-anak, serta mengantarkan mereka ke gerbang kedewasaan. Anak pun mendapatkan pendidikan formal yang bisa membuat mereka siap menjalani kehidupan dengan taat kepada Allah SWT dengan memiliki kepribadian Islam (Syaksiyah Islamiyah).
Ketiga, penerapan sistem sosial dan pergaulan Islam. Negara wajib menerapkan sistem sosial dan pergaulan yang akan menjamin interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan berlangsung sesuai ketentuan syariat. Di antara aturan tersebut adalah: perempuan diperintahkan untuk menutup aurat dan menjaga kesopanan sejak dari usia dini. Menjauhkan mereka dari eksploitasi seksual, larangan berkhalwat, larangan memperlihatkan dan menyebarkan perkataan serta perilaku yang mengandung erotisme dan kekerasan (pornografi dan pornoaksi) serta akan merangsang bergejolaknya naluri seksual. Ketika sistem sosial Islam diterapkan, tidak akan muncul gejolak seksual yang liar memicu kasus prostitusi, pencabulan, perkosaan, serta kekerasan pada anak.
Keempat, pengaturan media massa. Berita dan informasi yagn disampaikan media hanyalah konten yang membina ketakwaan dan menumbuhkan ketaatan. Apapun yang akan melemahkan keimanan dan mendorong terjadinya pelanggaran hukum syara’ akan dilarang keras.
Kelima, penerapan sistem sanksi. Negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap para pelaku kejahatan, termasuk orang-orang yang melakukan kekerasan dan penganiayaan anak. Hukuman yang tegas akan membuat jera orang yang terlanjur terjerumus pada kejahatan dan akan mencegah orang lain melakukan kemaksiatan tersebut.
Semestinya negara bertanggung jawab menghilangkan penyebab utamanya yaitu penyebaran budaya liberal, sekularisasi pendidikan, penerapan ekonomi kapitalisme dan pelemahan fungsi keluarga hingga negara. Karena anak adalah hamba Allah yang paling rentan menjadi korban keburukan sistem. Ketika mengenal bagaimana baiknya sistem Islam, maka daruratnya kasus anak hingga hari ini, memaksa kita harus membuka diskursus sistem lain yang sanggup memberi jaminan anak-anak yang tumbuh dan berkembang menjadi sholih dan sholihah. Mereka pun hidup dalam keamanan dan kenyamanan serta jauh dari bahaya yang mengancam. Yang tentunya dengan itu, kemajuan bangsa akan cemerlang di masa hadapan. Aamiin.*
*Penulis Adalah Pamong Institute Wilayah Kalbar
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





