SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda News Hari Pancasila ke-75, ICJR: Hapuskan Hukuman Mati

Hari Pancasila ke-75, ICJR: Hapuskan Hukuman Mati

Sebagai ilustrasi: Monumen Pancasila Sakti (Google Maps)

Jakarta (Suara Kalbar)- Di dalam
pidatonya 75 tahun silam, Bung Karno membicarakan mengenai ’Dasar
(Beginsel) Negara Kita’, sebagai penjelmaan dari angan-angannya, seperti
yang dikutip oleh mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat.

Pidato Bung Karno pada 1 Juni
1945 di dalam sidang BPUPKI tersebut bermaksud untuk menjawab pertanyaan
bangsa pada saat itu yang masih dibawah kekuasaan Jepang, “Indonesia
merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?”

Dalam
kesempatan itu Presiden RI pertama itu menyampaikan lima prinsip dasar
negara, yakni kesatu Kebangsaan Indonesia; kedua, Internasionalisme atau
perikemanusiaan; ketiga, Mufakat atau demokrasi; keempat, Kesejahteraan
sosial; dan prinsip kelima yang Menyusun Indonesia Merdeka dengan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Salah satu prinsip yang
kemudian ditekankan Bung Karno adalah prinsip kemanusiaan yang adil dan
beradab. Prinsip Perikemanusiaan (Menselijkheid) menurut Bung Karno
adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dan manusia lainnya ada
hubungannya; jiwa yang hendak mengangkat atau membedakan jiwa manusia
itu lebih tinggi daripada jiwa binatang. Perikemanusiaan adalah hasil
perkembangan rohani, budaya, dan masyarakat dari tingkat rendah ke
tingkat tinggi.

Dalam memperingati 75 tahun hari Kesaktian Pancasila, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menuliskan catatan penting.

Menurut ICJR untuk mengukur sejauh mana
prinsip itu ditanamkan, maka Indonesia bisa merujuk kebijakan pidananya.
Sebab, dalam konteks kebijakan pidana, salah satu tujuan utama dan
paling mendasarnya adalah keadilan.

“Kebijakan pidana yang kita
punya di Indonesia rasanya belum menggambarkan jiwa bangsa dan semangat
perikemanusiaan yang diinginkan pendiri bangsa,” kata Direktur Eksekutif
ICJR, Erasmus Napitupulu dalam keterangan pers, Senin (1/6/2020).

Dia menuturkan, pemerintah sebagai tulang
bangsa dalam 75 tahun ini masih belum bisa sepenuhnya menghadirkan
hukum pidana yang berdasarkan dan mencerminkan prinsip-prinsip negara
untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Salah satu pidana yang
jelas bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab itu
adalah hukuman mati.

“Selama
hukuman mati masih menjadi satu bentuk sanksi dalam hukum pidana kita,
maka Indonesia masih jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa yang
terkandung dalam Pancasila,” ujarnya.

Hukuman mati hadir dalam sistem hukum di
Indonesia karena alasan rasial dan stigma penjajahan terhadap bangsa
Indonesia. Saat itu bangsa Indonesia dianggap tidak dapat diatur dan
merupakan bangsa yang tidak bisa dipercaya sehingga perlu tetap
diberlakukan hukuman mati.

“Saat ini, Indonesia negara yang merdeka,
segala kebijakan berbasis stigma seperti hukuman mati, harusnya
dihapuskan,” kata dia.

Hukuman mati yang diturunkan oleh
penjajah juga tidak menggambarkan kemajuan secara nasional ataupun
internasional. Indonesia sekarang duduk sebagai salah satu dari hanya
sedikit negara di dunia yang masih mempraktikkan hukuman mati di dalam
kebijakan pidanananya, sedangkan 142 negara sudah menghapus total
hukuman mati.

Data olahan tim ICJR dari data Ditjen
Pemasyarakatan (2019) dan Database ICJR mengenai hukuman Mati di
Indonesia (2020) menunjukkan ada sekitar 274 terpidana mati dalam Lapas,
dengan 60 orang yang sudah duduk di dalam deret tunggu eksekusi mati
selama lebih dari 10 tahun. Mereka tanpa kejelasan, hidup dalam
ketakutan, jauh dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

ICJR
mengajak Pemerintah dan jajarannya untuk maju dan berkembang secara
rohani, budaya, dan masyarakat, sesuai Sila ke-2 Pancasila “Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab,” dengan memastikan; pertama, Pemerintah termasuk
DPR melahirkan kebijakan pidana yang berdasarkan pada kemanusiaan yang
adil dan beradab. Salah satunya dapat dimulai dengan Rancangan Kitab
Perundang-undangan Hukum Pidana (RKUHP), penghapusan hukuman mati harus
kembali diwacanakan.

Kedua, mempertahankan moratorium pidana
mati bukan hanya dalam hal eksekusi tetapi juga dalam penjatuhan pidana
dalam tahap yudisial/peradilan pidana. Ketiga, memberikan
komutasi/pengubahan hukuman bagi mereka yang sudah dalam deret tunggu
eksekusi mati lebih dari 10 tahun demi alasan kemanusiaan.

Sumber    : Suara.com

Editor       : Diko Eno

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan