Potret Ketahanan Pangan di Kalbar
![]() |
| Ilustrasi – Ketahanan Pangan. |
Oleh: Arif Rahman, S.Tr.Stat.
KETAHANAN pangan selalu menjadi isu strategis dalam pencapaian pembangunan suatu negara. Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Mengingat pentingnya ketahanan pangan, setiap negara pada umumnya akan lebih mendahulukan pembangunan ketahanan pangan, sebagai fondasi bagi pembangunan sektor-sektor lainnya.
Indonesia sendiri selalu berupaya untuk mewujudkan ketahanan pangan, baik pada tingkat nasional dan wilayah, maupun rumahtangga. Kondisi ini setidaknya terlihat dari peringkat Indonesia dalam Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI), yang terus meningkat. Dimana, Indonesia berada di posisi ke 74 pada tahun 2015, posisi 71 pada tahun 2016, posisi ke 69 pada tahun 2017 dan posisi ke 65 pada tahun 2018.
Berdasarkan data BPS, Kalbar hanya mampu memproduksi 622 ribu ton Gabah Kering Giling (GKG) atau setara dengan 366 ribu ton beras pada tahun 2018. Sementara itu, pada tahun yang sama, rata-rata konsumsi beras per orang dalam seminggu adalah sekitar 1,55 kg sementara jumlah penduduk Kalbar sekitar 5 juta jiwa. Jika diasumsikan setahun ada 52 minggu, maka konsumsi beras di Kalbar mencapai 403 ribu ton pada tahun 2018. Hal itu berarti produksi beras di Kalbar belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi beras untuk penduduk Kalbar sendiri. Lalu, bagaimana ketahanan pangan di Kalbar ?
Konsep Ketahanan Pangan
Menurut Undang-Undang No. 18 tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Ketahanan pangan terdiri dari tiga pilar, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan. Ketersediaan dalam arti bahwa pangan cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi bagi masyarakat, rumahtangga, dan perseorangan secara berkelanjutan. Tersedia tidak hanya dalam hal volume, akan tetapi juga beragam, terjamin keamanan, mutu, dan gizi nya, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
Sementara keterjangkauan dimaknai bahwa pasokan pangan terdistribusi secara merata ke seluruh wilayah dengan harga yang stabil dan terjangkau serta berkelanjutan.
Adapun pemanfaatan diartikan bahwa rumahtangga mampu mengakses cukup pangan dan mengelola konsumsinya sesuai kaidah gizi dan kesehatan. Peningkatan ketahanan pangan sangat diperlukan karena pangan adalah kebutuhan paling mendasar bagi manusia, yang pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi manusia.
Indeks Ketahanan Pangan
Terwujudnya ketahanan pangan di suatu wilayah adalah hasil kerja dari suatu sistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, terwujudnya ketahanan pangan merupakan prestasi tersendiri bagi pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Oleh karena itu, ketahananan pangan menjadi salah satu indikator kinerja dalam RPJMD suatu daerah, termasuk Kalbar.
Untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan suatu wilayah beserta faktor-faktor pendukungnya, telah dikembangkan suatu sistem penilaian dalam bentuk indeks yang mengacu pada definisi ketahanan pangan dan subsistem yang membentuk sistem ketahanan pangan, yaitu Indeks Ketahanan Pangan (IKP). IKP yang disusun oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian tersebut merupakan penyesuaian dari indeks yang telah ada berdasarkan ketersediaan data tingkat kabupaten/kota. Sembilan Indikator yang digunakan dalam penyusunan IKP merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan.
Sembilan indikator yang dipilih sebagai dasar penentuan IKP yaitu rasio konsumsi normatif terhadap keteresediaan bersih per kapita per hari (aspek ketersediaan). Kemudian, persentase penduduk dibawah garis kemiskinan, persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65% terhadap total pengeluaran, dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik (aspek keterjangkauan). Selanjutnya, rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun, persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat kepadatan penduduk, prevalence balita stunting, dan angka harapan hidup pada saat lahir (aspek pemanfaatan).
Selanjutnya, masing-masing kabupaten dikelompokkan dalam 6 prioritas, kelompok yang paling rentan pangan (Prioritas 1) sampai dengan kelompok yang paling tahan pangan (Prioritas 6) berdasarkan analisis komposit.
Kelompok Prioritas 1 dan 2 merupakan kabupaten-kabupaten yang paling rentan pangan, Prioritas 3 dan 4 merupakan kabupaten-kabupaten dalam kelompok ketahanan pangan sedang, sedangkan Prioritas 5 dan 6 merupakan yang paling rendah tingkat kerentanan pangannya (relatif tahan pangan).
Wilayah yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah kabupaten/kota yang cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada kabupaten/kota dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6 merupakan kabupaten/kota yang memiliki ketahanan pangan paling baik. Kabupaten/kota yang diidentifikasikan sebagai relatif lebih tahan pangan (kelompok Prioritas 4-6), tidak berarti semua kecamatan, desa serta penduduk di dalamnya juga tahan pangan. Demikian juga, tidak semua kecamatan, desa serta penduduk di kabupaten Prioritas 1-3 tergolong rentan pangan.
Ketahanan Pangan di Kalbar
Hasil perhitungan IKP 2018 dengan 9 indikator untuk wilayah kabupaten dan 8 indikator untuk wilayah kota memberikan gambaran peringkat pencapaian ketahanan pangan wilayah (kabupaten dan kota) dibandingkan dengan wilayah lainnya. Secara umum, nilai IKP Kalbar tahun 2018 masuk dalam kelompok prioritas 5, artinya wilayah Kalbar temasuk dalam wilayah yang paling rendah tingkat kerentanan pangannya atau dengan kata lain relatif tahan pangan.
Pada tingkat kabupaten/kota, daerah yang memiliki IKP tertinggi di Kalbar adalah Kabupaten Sanggau yaitu mencapai 76,44 poin. Sementara daerah yang memiliki nilai IKP terendah di Kalbar adalah Kota Singkawang yang hanya 57,97 poin.
Berdasarkan wilayah kelompok prioritas, kabupaten/kota di Kalbar dibagi menjadi 3 wilayah kelompok prioritas yaitu prioritas 4, 5, dan 6. Kabupaten yang masuk dalam kelompok prioritas 4 yaitu Kabupaten Landak, Melawi, dan Kota Singkawang. Kemudian, kabupaten/kota yang masuk dalam wilayah prioritas 5 yaitu Kabupaten Mempawah, Ketapang, Sintang, Kapuas Hulu, Sekadau, Kayong Utara, Kubu Raya, dan Kota Pontianak. Sementara itu, kabupaten/kota yang masuk dalam wilayah prioritas 6 yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, dan Sanggau.
Kebijakan Penanganan Kerentanan Pangan
Penyebab terjadinya kondisi rentan pangan di setiap wilayah tentu berbeda-beda, maka intervensi program pemerintah untuk mencegah dan mengatasinya pun idealnya spesifik lokasi. Secara umum, program pemerintah untuk peningkatan ketahanan pangan dan penanganan kerentanan pangan dibedakan berdasarkan wilayah kabupaten dan wilayah perkotaan.
Program peningkatan ketahanan pangan dan penanganan kerentanan pangan wilayah kabupaten yaitu pertama, peningkatan penyediaan pangan di daerah non sentra produksi dengan mengoptimalkan sumber daya pangan lokal.
Kedua, penanganan stunting melalui sosialisasi dan penyuluhan tentang gizi dan pola asuh anak, penyediaan fasilitas dan layanan air bersih.
Ketiga, penanganan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja, redistribusi lahan, pembangunan infrastruktur dasar, pemberian bantuan sosial, serta pembangunan usaha produktif/UMKM/padat karya.
Keempat, peningkatan akses air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih, sosialisasi dan penyuluhan.
Kelima, penurunan pangsa pengeluaran pangan. Keenam, peningkatan pendidikan perempuan dan terakhir penyediaan tenaga kesehatan.
Program peningkatan ketahanan pangan dan penanganan kerentanan pangan di daerah perkotaan yaitu pertama, peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Kedua, sosialisasi pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman. Ketiga, peningkatan akses rumah tangga terhadap air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih.
Keempat, peningkatan sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat melalui sosialisasi dan penyuluhan. Kelima, penanganan balita stunting melalui intervensi program gizi baik yang bersifat spesifik maupun sensitif. Keenam, intervensi spesifik dilakukan untuk mendukung kesehatan anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Ketujuh, intervensi gizi sensitif yang diarahkan untuk penyediaan bahan pangan yang cukup dan beragam, akses air bersih, sanitasi, fortifikasi bahan pangan, akses layanan kesehatan, jaminan kesehatan, pendidikan gizi, jaring pengaman sosial, dan meningkatkan pendapatan keluarga.
*Penulis adalah Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik di BPS Kabupaten Sekadau
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





