Kisah Pilu Mohamad Imron, 2 Tahun Dipasung di Kandang Kambing
![]() |
| Mohamad Imron, korban Pasung di Blitar. (Suara.com/Agus H) |
Jakarta (Suara Kalbar) – Mohamad Imron, sudah 2 tahun
dipasung di rumahnya di Desa Gandekan, Kecamatan Wonodadi, Jawa Tengah,
Kabupaten Tulungagung. Dia satu dari 9 penderita gangguan jiwa di Blitar yang belum bebas dari
pasungan.
Suara.com bertandang ke rumah Imron ditemani relawan Dewan Kesehatan Rakyat
(DKR) Jawa Timur, Senin (7/10/2019) sore kemarin.
Dari jalan arteri yang menghubungkan Kota Blitar dan Kota Kediri, kami
berbelok ke sebuah jalan desa sejauh sekitar 3 kilometer untuk sampai ke sebuah
rumah kecil yang berada di tengah sebuah kompleks pemukiman warga.
Hanya di bagian belakang rumah itu terlihat lampu menyala, yaitu di sebuah
bangunan kecil di samping dari bagian belakang rumah namun menempel di bangunan
utama rumah. Seorang perempuan paruh baya membuka pintu dapur dan
mempersilahkan kami masuk ke dapur setelah menanyakan maksud kedatangan kami.
Di dalam sebuah ruangan sempit berukuran sekitar 3×3 meter itu seorang pria tua
berperawakan kecil tergopoh-gopoh menyalami kami sembari membenarkan kancing
baju batiknya yang lusuh.
“Sejak pulang dari Malaysia sekitar tiga tahun lalu dia jadi begitu, otaknya
ada yang konslet,” sambut Ratinah, ibu dari Imron saat kami datang dan mulai
bertanya soal anaknya.
Ratinah berusia 54 tahun, dia perempuan paruh baya yang memakai kain penutup
rambut. Sementara ayah Imron adalah pria tua bertubuh kecil yang kesulitan
berjalan itu, Slamet (65). Sehari-hari mereka tinggal bertiga di rumah itu,
Imron di ruang tamu sementara Ratinah dan Slamet di ruangan kecil yang menyatu
dengan dapur.
“Tapi sekarang sudah mendingan. Saya biasa ngobrol dengan dia, ya normal
saja,” sambung Ratinah.
Sejak beberapa bulan yang lalu Imron dipindahkan ke ruang tamu. Sebelumnya,
dia ditempatkan di kandang kambing di belakang rumah dengan kaki dipasung.
Ratinah bergegas ke ruang tamu melalui jalan dapur. Relawan DKR membuka
pintu depan, pintu ruang tamu. Cahaya dari lampu 4 Watt yang nyalanya sudah
redup itu samar menerpa wajah Imron yang duduk di tikar kusam di lantai tanah.
Wajah Imron datar.
“Halo bro!” salam relawan DKR yang tiba-tiba mengubah wajah datar Imron
dengan sedikit senyuman.
Relawan DKR menyulut sebatang rokok dan memberikannya kepada Imron. Gerakan
tubuhnya meraih pemberian rokok membuat kaki kirinya ikut bergerak sehingga
keluarlah bunyi yang berasal dari gesekan mata rantai besi yang mengikat kaki
kirinya.
Setelah beberapa kali Imron menghisap rokok, relawan DKR memintanya untuk
berdiri dan duduk di sebuah kursi bambu yang ada di sebelahnya. Ketika bagian
bawah kain sarung yang dia kenakan tersibak, terlihat jelaslah rantai besi yang
ujungnya tertanam pada sebuah balok semen (cor) itu mengikat kuat pergelangan
kaki kirinya.
Kami mengambil foto Imron dengan bantuan flash beberapa kali.
Suara.com menanyakan beberapa hal terhadap Imron, dan diluar dugaan Imron
menjawab dengan jelas. Dia juga masih mengingat dengan baik kisahnya di masa
lalu, misalnya terkait pengalamannya bekerja di Malaysia.
“Saya pernah dirawat di rumah sakit jiwa di Malaysia,” ujar Imron dalam
Bahasa Jawa.
Imron juga masih ingat betul bahwa setelah kembali ke Indonesia dia pernah
dua kali dikirim ke rumah sakit jiwa di Malang. Kalimat dan alur cerita yang
dia sampaikan dalam menjawab pertanyaan bahkan jauh lebih jelas dibandingkan
kedua orang tuanya, Ratinah dan Slamet.
9 orang dipasung
Setidaknya terdapat 9 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di wilayah Kabupaten
Blitar yang hingga saat ini masih hidup dalam pasungan. Dinas Kesehatan
Kabupaten Blitar masih kesulitan membebaskan 9 ODGJ yang masuk kategori
penderita gangguan jiwa berat. Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit pada Dinkes Kabupaten Blitar Krisna Yekti mengatakan sembilan ODGJ
yang masih berada dalam pasungan tersebut merupakan sisa dari para penderita
gangguan jiwa yang masih berhasil dibebaskan dari pasungan.
Yekti mengatakan bahwa sebenarnya pihaknya telah berhasil membebaskan
sebanyak 10 ODGJ dari pasungan sejak Januari hingga Agustus 2019.
“Yang tersisa ini masuk kategori berat. Dari sisi kejiwaan masuk kategori
gangguan berat atau juga karena lingkungan dan keluarga yang masih belum
bersedia melepas pasungan,” ujar Yekti kepada Suara.com, Selasa (8/10/2019).
Yekti mengatakan bahwa pihak Dinas Kesehatan Blitar bersama sejumlah pihak
lain telah mendatangi pasien dan keluarganya secara periodik untuk membujuk
mereka agar bersedia melepaskan pasungan namun masih belum membuahkan hasil.
Yekti menggarisbawahi bahwa toh pihaknya juga telah berhasil membebaskan lebih
dari separoh ODGJ yang dipasung dari pasungannya.
“Kita akan terus berupaya dan kita terbuka siapa saja yang mau bantu.
Mudah-mudahan dalam waktu dekat adalagi ODGJ yang bisa kita bebaskan dari
pasungan,” tambahnya.
Menurutnya, ODGJ mengalami pemasungan karena adanya pengalaman di masa sebelumnya
ketika pasien mengamuk dan dianggap membahayakan keluarga ataupun masyarakat
sekitarnya.
Sejumlah ODGJ yang saat ini masih berada dalam pasungan, lanjut Yekti, sudah
beberapa kali dirujuk ke rumah sakit jiwa namun setelah kembali ke rumah pihak
keluarga dan masyarakat masih menganggap mereka membahayakan.
Sembilan ODGJ yang masih dalam pasungan, ujarnya, tersebar di sejumlah
wilayah Kabupaten Blitar, antara lain, Kecamatan Kademangan, Kecamatan Bakung,
Kecamatan Srengat, Kecamatan Wonodadi, dan Kecamatan Selopuro.
Sumber : suara.com [jaringan Suara Kalbar]
Editor : Diko Eno
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





