SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda News Memahami Kemiskinan Satu Digit

Memahami Kemiskinan Satu Digit

Oleh: Claudia Damaris Kaban, SST

BADAN Pusat Statistik pada bulan Juli 2018 mengumumkan dalam Berita Resmi Statistik bahwa pada bulan Maret 2018 sebesar 9,82 persen (25,95 juta orang) penduduk Indonesia tergolong kedalam kategori miskin. Ini adalah kali pertama Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin satu digit sepanjang sejarah.

Jumlah penduduk miskin ini menurun bila dibandingkan dengan kondisi per September 2017, yaitu sebesar 10,12 persen (26,58 juta orang). Pernyataan BPS ini sempat menjadi perdebatan berbagai pihak. Beberapa pihak memandang hal ini menjadi sebuah prestasi dan pencapaian, namun tidak sedikit yang meragukan kebenaran data ini dan memandangnya sebagai data yang telah dipesan oleh pemerintah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa data kemiskinan adalah data strategis bagi sebuah negara karena dapat menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pemerintahan di era tersebut. Maka adalah hal yang wajar apabila kebenaran data kemiskinan diributkan oleh berbagai pihak. Entah itu pihak yang memang memikirkan tentang negara ini maupun pihak yang memiliki agenda tersendiri.

Badan Pusat Statistik sebagai lembaga yang diberi mandat oleh Undang-Undang untuk menghitung statistik dasar telah menggunakan metode yang sama dalam menghitung angka kemiskinan sejak tahun 1998. Metode yang dimaksud adalah Basic Needs Approach (pendekatan kebutuhan dasar) yang mengkombinasikan antara komoditi makanan dan komoditi non-makanan.

Berdasarkan metode ini kondisi kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Metode ini sendiri bukanlah metode yang dibuat dan dirancang oleh BPS, melainkan sebuah metode yang diadopsi dari handbooks on poverty inequility dari world bank yang pada 1998 mengalami penyempurnaan di cakupan komoditas.

Seseorang masuk kedalam kategori miskin adalah apabila rata-rata pengeluaran perkapita perbulannya berada dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah pembatas untuk mengelompokkan penduduk masuk ke dalam kategori miskin atau tidak.

Garis kemiskinan sendiri merupakan penjumlahan dari pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang setara dengan 2100 kkal per hari dan kebutuhan minimum akan kesehatan, pendidikan, perumahan serta sandang. Garis kemiskinan di Indonesia pada periode Maret 2018 menurut Berita Resmi Statistik BPS adalah sebesar Rp. 401.220,- per kapita per bulan.

Atau dengan kata lain apabila ada penduduk yang pengeluaran per bulannya adalah Rp 402.000,- maka orang tersebut digolongkan tidak miskin. Garis kemiskinan ini sendiri naik sebesar 7,14 persen dari Garis Kemiskinan Maret 2017 yang bernilai sebesar Rp. 374.478 ,-.

Bila dibandingkan antara komoditi makanan dan komoditi non-makanan, komoditi makanan lebih berkontribusi dalam membangun garis kemiskinan yaitu sebesar 73,48 persen. Hal ini berarti goncangan harga pada komoditas makanan akan lebih berpengaruh terhadap garis kemiskinan dan lebih lanjut lagi jumlah penduduk miskin.

Apabila terjadi ketidakstabilan stok komoditi makanan, misalnya beras, telur ayam ras, gula pasir, hal ini dapat mengakibatkan mengingkatnya harga-harga komoditi ini di pasar. Pengingkatan harga yang tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan masyarakat dapat membatasi kemampuan mereka untuk membelinya. Akhirnya masyarakat harus mengurangi pembelian mereka karena tidak mampu yang berimbas kepada konsumsi kalori mereka yang berkurang, akibatnya jumlah penduduk miskin bertambah.

Garis Kemiskinan inilah yang dianggap terlalu rendah oleh beberapa pihak. Garis kemiskinan demikian dianggap tidak mampu memenuhi standar untuk hiburan maupun kenyamanan hidup lainnya seperti misalnya nasi padang, pulsa dan lainnya.

Namun bila kita kembali ke konsep dasar garis kemiskinan, Garis kemiskinan adalah penjumlahan kebutuhan dasar makanan dan non makanan, berdasarkan konsep ini garis kemiskinan memang tidak memberikan ruang untuk kemewahan dan kenyamanan hidup lainnya melainkan hanya memberikan ruang bagi kebutuhan-kebutuhan dasar seorang manusia. Lagipula kita hendak menghitung garis kemiskinan dan bukan garis kemewahan.

Adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang digunakan oleh BPS untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi makanan dan non makanan per rumah tangga. Data ini nantinya akan digunakan untuk menghitung garis kemiskinan secara nasional dan bahkan hingga tingkat kabupaten.

Susenas sendiri adalah survei rutin yang telah dilakukan oleh BPS sejak 1963 untuk mengumpulkan data di bidang kependudukan, kesehatan, pendidikan, keluarga berencana, perumahan, dan pengeluaran rumah tangga. Pegawai BPS yang dibantu oleh mitra-mitra BPS melakukan wawancara langsung kepada rumah tangga yang telah ditetapkan menjadi sampel oleh BPS Indonesia.

Angka kemiskinan yang menurun memang dapat menjadi indikasi bahwa program-program yang dilakukan dalam sebuah era pemerintahan untuk menekan angka kemiskinan telah berhasil, tetapi hal ini tidak berarti pemerintah sudah berhasil lantas tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Karena jumlah penduduk miskin yang berkurang dapat diinterpretasikan bahwa penduduk yang dahulunya berpengeluaran dibawah garis kemiskinan telah bergeser ke atas garis kemiskinan.

Namun untuk penduduk yang pengeluarannya hanya berada sedikit diatas garis kemiskinan adalah sangat mudah bagi mereka untuk kembali berada dibawah garis kemiskinan apabila kestabilan harga-harga komoditas tidak dijaga atau apabila sumber pendapatannnya terganggu.

Selain penduduk tidak miskin yang pengeluarannya berada disekitar garis kemiskinan, masih terdapat pula kurang lebih 25,95 juta penduduk miskin yang setiap bulannya tidak mampu mengkonsumsi komoditas makanan dan non makanan diatas 401.220 rupiah. Jumlah ini tidaklah sedikit, dan setiap orangnya adalah tanggung jawab pemerintah.

Kemiskinan adalah masalah multidimensional, kemiskinan bersinggungan dengan banyak sisi lainnya dalam kehidupan masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah misalnya menjaga inflasi, menjaga ketersediaan komoditas penting, menjaga kestabilan harga-harga baik harga jual maupun harga beli, meningkatkan kualitas pendidikan, menyediakan pekerjaan untuk menjadi sumber pendapatan masyarakat dan lain-lain.

Bergoncangnya stok dalam negri dapat mengganggu harga dipasar, sehingga terganggunya daya beli masyarakat, oleh karena itu pemerintah harus menjaga kestabilan stok dan harga komoditas penting di pasar.

Meningkatnya kualitas pendidikan juga mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat untuk jangka panjang, sehingga pemerintah juga perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan diseluruh negeri. Masih banyak dimensi lainnya yang harus terus dipantau dan kemudian diterjemahkan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan agar akhirnya kemiskinan segera dientaskan.

Lantas apa yang kita sebagai masyarakat biasa dapat lakukan? Ikut terlibat dalam bernegara dapat menjadi jalan bagi kita yang juga ingin mengentaskan kemiskinan. Cara mudah untuk bisa ikut terlibat dalam bernegara adalah dengan memberikan data sesuai dengan realita kepada pemerintah ketika dibutuhkan. Dengan memerikan data yang benar dan sesuai dengan realita, kita telah ikut bernegara.

Sumber setiap data BPS adalah dari masyarakat. Apabila sumber datanya buruk, sebaik apapun metode yang digunakan sudah pasti kelanjutannya juga akan buruk. Selain itu tentu saja kita sebagai masyarakat dapat mendoakan para pemangku kebijakan agar dapat bekerja dengan baik dan dipimpin oleh Tuhan untuk dapat mengetahui kebijakan apa yang paling tepat untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah masing-masing.*

Penulis: ASN BPS Kabupaten Landak

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan