Opini – Pemilu, Money Politik dan Keadaban
![]() |
| OLEH: RIDWAN |
GELARAN kontestasi electoral menegaskan sebuah kontinuitas pembangunan demokrasi dan pembangunan politik di Republik ini. Perubahan undang-undang pemilu sejak orde reformasi: UU Nomor 2 tahun 1999 tentang partai politik, UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilu dan UU Nomor 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR sampai kini UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah ikhtiar nyata untuk terus memperbaiki sistem pemilu.
Dan pemilu 2019 adalah pemilu yang paling prestisius sekaligus mengagetkan banyak pihak karena pemilihan legislative dan eksekutif ditentukan dihari, bulan dan tahun yang sama yakni 17 April 2019.
Mengagetkan karena pemilu serempak kali ini adalah pemilu pertama sepanjang sejarah Republik ini dan bahkan digadang-gadang sebagai pemilu “terumit” di dunia.
Meski demikian, mekanisme dan substansinya tak jauh berbeda dengan pemilu 2014, secara umum yang membedakan hanya penambahan surat suara. Pada pemilu kali ini setiap pemilih mendapatkan lima surat suara: yakni surat suara Presiden dan Wakil Presiden, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota.
Disebut paling Prestisius karena pemilu 2019 sekaligus menjadi indikator kematangan politik dan pembangunan demokrasi rakyat Indonesia. Barangkali tak terbayangkan sebelumnya jika dalam kurun waktu 20 tahun era reformasi ini, rakyat Indonesia dituntut untuk memilih eksekutif dan legeslatif sekaligus dalam sekali pemilu.
Kesuksesan pemilu 17 April 2019 yang akan datang juga menunjukkan perkembangan yang pesat proses electoral dan suksesi kepemimpinan yang menakjubkan.
Meski demikian, tantangan pemilihan umum di Indonesia bukan persoalan mudah untuk diurai. Lemahnya Pendidikan politik dan semangat “asal milih” dan “asal terpilih” misalnya terus menjadi momok dari pemilu ke pemilu di Indonesia.
Rakyat terus dihadapkan pada pilihan yang penentunya karena kedekatan, kekerabatan dan keuangan yang memadai (baca: Money politik). Visi, misi dan program kerja para kandidat legislatif dan eksekutif terabaikan atau secara sadar diabaikan.
Para pemilih cenderung abai dengan peran dan fungsinya serta hak dan kewajibannya sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam menentukan para kontestan yang akan mewakilinya atau yang akan memimpinnya. Godaan money politik semakin membuat runyam cara berfikir rakyat sebagai pemilih sekaligus merusak demokrasi dan menghianati konstitusi.
Karena itu, money politik atau politik uang harus terus menjadi musuh utama dalam setiap pemilu.
Gerakan tolak money politik kerapkali disuarakan oleh Bawaslu maupun KPU untuk menjaga kedaulatan rakyat sebagai pemilih sekaligus menjaga substansi demokrasi.
Bahkan pada pemilu 2019 ini upaya untuk meminimilasir potensi money politik terus dipersempit semisal SK KPU Nomor 278/PL.02.4-Kpt/06/KPU/I/2019 menegaskan bahwa biaya makan, minum dan transpotasi peserta kampanye paling banyak sama dengan standar biaya daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat dan TIDAK DIBERIKAN DALAM BENTUK UANG kepada peserta kampanye.
Dengan demikian, setiap pelaksana dan tim kampanye tidak diperbolehkan memberikan uang kepada peserta kampanye; baik kampanye tertutup, terbatas, terbuka, rapat umum dan metode kampanye lainnya sebagaimana tertuang dalam pasal 275 Undang undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Jika keputusan KPU tersebut dilanggar, maka patut diduga sebagai bagian dari money politik dan berpotensi melanggar ketentuan pidana pemilu sebagaimana tertuang dalam pasal 280 ayat (1) huruf J yang menegaskan bahwa pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang dan materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Pasal pidana pelanggaran terhadap pasal 280 huruf j undang-undang Nomor 7 tahun 2017 yakni pasal 523 ayat (1) yang berbunyi Setiap pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf J dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000.00 (dua puluh empat juta rupiah).
Dan sebetulnya yang lebih substansi dari gerakan tolak money politic dalam pemilu adalah bukan karena persoalan sanksi pidananya tetapi memberikan Pendidikan politik (political education) yang baik dan bermartabat kapada rakyat, menjaga kewarasan berfikir dan menjaga tumbuh suburnya demokrasi yang berkeadaban.
Sudah saatnya rakyat berdaulat dalam menentukan hak pilihnya dan tidak terpasung oleh pemberian atau besaran rupiah. Sudah seharusnya rakyat memilih berdasarkan visi, misi dan program kerja yang rasional, terukur dan punya target yang jelas. Tulisan ini sekaligus mengajak semua pihak untuk saling menjaga, mencegah, mengawasi pemilu di tahun 2019 ini agar semakin berintegritas dan bermartabat.
Dalam pada itu, dibutuhkan keberanian dari semua pihak untuk bersama-sama menolak praktik money politic dalam pemilu. Berani untuk tidak menjadi pelaku money politic dan berani untuk tidak menjadi penerima money politic. Karena itu, keberanian adalah pangkal utama kemandirian menuju pemilih berdaulat dan masyarakat yang berkeadaban.
Jika keberanian sudah hilang dari dalam diri kita, apalagi yang kita punya tutur Pramoedya. Money politic adalah musuh nyata dan pemasung kehendak dan cita rakyat dalam pemilu.
Penulis: Komisioner Bawaslu Kota Pontianak, alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





